Sunday, November 7, 2010

Filsafat Moral Hukum Alam Dalam Hukum Progresif


EKSISTENSI TRANSENDENSI MORAL HUKUM ALAM DALAM

HUKUM PROGRESIF

Oleh: Novita Dewi Masyithoh

ABSTRAK

Moral adalah satu kata yang seringkali dianggap sepele bahkan tidak punya nilai dan makna yang berarti dalam kancah struktur hukum di Indonesia. Pembuat hukum sampai dengan penegak hukum adalah hamba hukum yang perjuangannya membela kebenaran dan keadilan, namun pada kenyataannya seringkali di tangan merekalah hukum menjadi berwarna dan ketika sampai ke masyarakat ditanggapi secara berbeda. Hukum bukanlah sebuah buku yang hanya berisikan tulisan tanpa makna, bahkan penegakan hukum tidak hanya membutuhkan rule of law saja , tetapi lebih kepada rule of man, karena hukum dibuat oleh manusia, ditegakkan oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karenannya moral menjadi sangat penting karena menjadi dasar rule of man. Hukum progresif adalah pencerahan pemikiran dan merupakan koreksi terhadap sisi negative dari hukum modern yang sangat terstruktural, tersistematis dan birokratis. Dimensi moral menjadi sangat penting dalam hukum progresif yang dapat mengarahkan hukum sebagai suatu institusi yang bertujuan mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.

(Kata Kunci: moral, hukum alam, hukum progresif)

I. PENDAHULUAN

Berangkat dari rasa keprihatinan terhadap pandangan masyarakat tentang hukum yang seringkali dicerca, diremehkan bahkan dihujat, karena penilaian masyarakat terhadap hukum justru berasal dari tangan-tangan pembuat dan penegak hukum yang melaksanakan law enforcement. Banyak anggapan masyarakat yang menilai hukum merupakan produk kekuasaan yang melegitimasi kekuasannya, banyak undang-undang pesanan, hukum membela yang bayar, hukum bisa dibeli, dan masih banyak lagi.

Hukum modern merupakan hukum yang penuh dengan formalism, terstruktur, organis, sistematis, dan penuh dengan birokrasi, sehingga hal-hal di luar itu menjadi tidak penting. Akar dari hukum, basis dari hukum, yaitu masyarakat tidak lagi menjadi bahan utama pembuatan hukum, karena kepentingan lebih mendominasi. Dogmatisasi dan positivisme hukum adalah yang paling utama dan mempunyai kekuatan sentral dalam mengatur masyarakat. Itulah sebabnya, kelanggengan dan akumulasi positivism tidak dapat terganggu gugat. Namun, pada realitas masyarakat yang terus menerus mengalami pergerakan dan perkembangan, tuntutan akan aturan yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat menjadi batu sandungan bagi eksistensi positivisme, sampai akhirnya terjadi anomalies, karena banyak permasalahan-permasalahan di masyarakat yang tidak mampu dijawab dan diselesaikan dengan formalism hukum modern yang ada saat ini. Hukum modern yang ada justru menjadi boomerang bagi kelangsungan hidup bermasyarakat dan bernegara karena semakin lama masyarakat justru resisten terhadap hukum sendiri.

Satjipto Rahardjo, Begawan Ilmu Hukum menawarkan suatu revolusi paradigma dalam memandang hukum dan memberikan pencerahan bagi dunia keilmuan hukum untuk melihat hukum sebagai sebuah proses yang tidak final dan tidak akan ada akhirnya, selama ilmu dipelajari dan hukum dibutuhkan oleh mengatur masyarakat. Sebuah teori hukum baru yang pro rakyat, pro keadilan dan kebenaran dan lebih dari itu hukum untuk memanusiakan manusia. Hukum progresif, memberikan ruang yang luas bagi pemahaman hukum, karena meletakkan hukum pada basisnya, yaitu masyarakat dan meletakkan ilmu hukum pada filsafat ilmunya untuk memberikan kebijaksanaan, kemaslahatan dan pencerahan, agar tidak terbelenggu pada doktrinasi, dogmatisasi, dan positivism.

Dalam makalah ini, penulis berusaha merekonstruksi kembali pemahaman moral yang bersifat transenden dan menjadi satu kesatuan kodrati dengan manusia yang dijadikan salah satu landasan/dasar dalam memahami hukum progresif.

II. HUKUM DAN KEKUASAAN

Menurut Chambliss dan Seidman terdapat hubungan antara hukum dan kekuasaan, di mana kekuatan social[2] dan pribadi yang terdapat di masyarakat keberadaannya menekan lembaga pembuat hukum secara langsung sebagai lembaga yang membuat hukum dan secara tidak langsung menekan lembaga penegak hukum, sedangkan lembaga penegak hukum juga mengalami tekanan secara langsung dari kekuatan social dan pribadi. Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum yang bekerja untuk melakukan law enforcement untuk ditegakkan di masyarakat. Masyarakat adalah tujuan akhir dari bekerjanya hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum yang dibuat oleh pembuat hukum yang sudah mengalami tekanan dari kekuatan social dan pribadi di tegakkan oleh penegak hukum yang juga mengalami tekanan dari kekuatan social dan pribadi ke masyarakat, sehingga hukum yang sampai ke masyarakat adalah hukum yang bercorak kekuasaan.

Realitas ini semakin nyata ketika hukum positif menjadi satu-satunya sandaran dalam hukum modern. Kenyataan ini juga berbanding lurus dengan teori Sibernetika[3] yang disampaikan oleh Talcott Parson, bahwa di dalam masyarakat terdapat sub-sub system, yang terdiri dari sub system budaya dengan fungsi primernya mempertahankan pola, sub system social dengan fungsi primernya integrasi, sub system politik dengan fungsi primernya mengejar tujuan dan sub system ekonomi dengan fungsi primernya adaptasi. Sub-sub system dalam masyarakat tersebut berlangsung melalui proses arus informasi dan arus energy. Arus energy yang terkuat adalah sub system ekonomi mengarah ke sub system politik, social dan arus energy terlemah adalah sub system budaya. Sebaliknya, arus informasi terkuat adalah sub system budaya, mengarah ke sub system social, politik dan arus informasi terlemah adalah sub system ekonomi. Di mana letak hukum? Hukum terletak di antara sub system budaya dan social, karena hukum pada dasarnya membentuk pola di dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum memiliki arus energy yang sangat lemah di bandingkan politik dan ekonomi. Itulah sebabnya, mengapa hukum apabila dihadapkan dengan politik dan ekonomi selalu kalah dan mudah dipengaruhi, karena arus energinya lemah. Kekuatan hukum terletak pada pembentukan pola pikir dan pola perilaku di masyarakat sebagaimana yang dikehendaki.[4]

Berdasarkan kedua teori ini, kekuasan sangat berpotensi untuk mengintervensi hukum, baik dalam proses legislasi maupun law enforcement. Proses legislasi digawangi oleh para pembuat hukum, demikian juga dalam proses penegakan hukum, yang terdiri dari hamba hukum yang secera teoritis sangat memahami tugas dan pekerjaannya. Kemungkinan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan sangat besar, karena hukum tidak memiliki arus energy yang kuat dan dapat ditekan oleh kekuatan social dan pribadi. Oleh karena itulah, prinsip-prinsip rule of man sangat penting sebagai fondasi pembuatan dan penegakan hukum.

III. TRANSENDENSI MORAL HUKUM ALAM

Hukum alam menyatakan suatu idealisme moral. Hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan akal. Dalam anggapan hukum alam, yang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut yang lazim dikenal dengan hak-hak asasi manusia.[5] Hukum alam dibagi menjadi dua, yaitu hukum alam irasional dan hukum alam rasional. Hukum alam irasional menyatakan bahwa hukum yang berlaku secara universal dan abadi itu sumbernya berasal dari Tuhan secara langsung.[6] Sedangkan hukum alam rasional menyatakan bahwa sumber hukum yang universal dan abadi adalah rasio/akal manusia.[7] Pandangan ini muncul setelah Renaessance (masa di mana rasio manusia dipandang lepas dari tertib ketuhanan) menyatakan bahwa hukum alam muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang penilaiannya terletak pada kesusilaan (moral) alam.[8]

Thomas Aquinas dikategorikan sebagai pengikut hukum alam irasional, walaupun dalam tesisnya menyatakan bahwa ia mengakui adanya kebenaran wahyu juga kebenaran akal. Tesisnya ini didasakan pada kenyataan bahwa terdapat beberapa pengetahuan manusia yang diperoleh oleh akal namun tidak dapat ditembus oleh akal (keterbatasan akal yang dimiliki oleh manusia).[9] Pemikiran Thomas Aquinas tentang hukum adalah :

Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta diatur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum TUhan berada di atas segala-galanya. Namun demikian, tidak semua hukum Tuhan dapat diperoleh manusia. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang dilengkapi oleh akal, sehingga manusia dapat membedakan yang baik dan buruk.[10]

Pernyataan Thomas Aquinas tentang hukum alam meletakkan moral sebagai satu kesatuan kodrati yang dimiliki manusia karena kelebihan akal yang diberikan oleh Tuhan untuk mengerti dan memahami tentang hukum Tuhan, walaupun ada keterbatasan akal manusia untuk mengerti dan memahami hukum Tuhan.

Berbeda dengan Thomas Aquinas, Hugo de Groot (Grotius) menyatakan bahwa sumber hukum adalah rasio manusia, karena manusia diciptakan berbeda dengan makhluk yang lain karena akal yang dimilikinya. Hukum alam ini hadir sesuai dengan kodrat manusia yang tidak dapat diganggu gugat.[11] Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Samuel von Pufendorf dan Christian Thomasius, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni, sehingga unsur naluriah manusia yang lebih berperan.[12]

Imanuel Kant, menyatakan tentang konsep moral, bahwa persoalan moral harus sama sekali lepas dan tidak ada hubungannya dengan lingkungan, kebiasaan dan segala hal yang bersifat empiric. Moral adalah hal yang sangat mutlak dan didasarkan oleh nilai-nilai yang mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat.[13] Kebangkitan hukum alam pun juga menyatakan hal yang sama, walaupun terdapat perbedaan. Hukum alam yang sebelumnya menganut absolutism dari hukum Tuhan, sedangkan kebangkitan hukum alam menganut relativitas, namun keduanya didasari oleh keinginan untuk menyatakan suatu idealism moral.[14]

Kedudukan moral di dalam hukum kembali hadir pada masa Postmodernisme (postpositivisme)[15] yang kehadirannya jauh dari hukum alam sebagai reaksi dari analytical jurisprudence. Postpositivisme menekankan keterkaitan antara wilayah empirik dan moral dan telah melahirkan pandangan bahwa hukum tidak dimaknai sebagai realitas sosial yang empirik an sich, tetapi hukum juga dimaknai sebagai realitas metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Berdasarkan pemahaman ini, hukum dimaknai tidak saja sebagai fenomena social tetapi juga fenomena rohani.[16] Para teolog dan filsuf pada masa itu telah mencurahkan pemikiran transcendental untuk mengesahkan dan menunjukkan tentang kebenaran moral dan menyatakan bahwa hukum alam terdiri dari prinsip-prinsip moral yang sangat kebal terhadap keragu-raguan, karena merupakan kehendak Tuhan.[17]

Moral sebagai bentuk manifestasi akal yang diberikan oleh Tuhan berbeda dengan kedudukan akal/rasio dalam aliran positivism, karena positivism memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Reine Rechtslehre dari Hans Kelsen menyatakan bahwa, hukum adalah susunan logis dari peraturan-peraturan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu. Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat.[18] Fokus perhatian hukum semata-mata pada bentuk, bukan pada isi, sehingga hukum tetaplah sah walaupun tidak adil dan tidak megandung nilai-nilai moralitas. Tokoh-tokoh teoretisi positivisme lain, seperti John Austin dan H.L.A.Hart, mereka menjadikan tugas ilmiahnya sebagai pemberi legitimasi terhadap hukum positif, dan mencoba membangun suatu teori mendasar, dimulai dari hakikat peraturan hukum dan membedakan serta memisahkannya dengan moral, etika, kesusilaan, agama maupun norma-norma kehidupan lain.[19]

Sejak adanya dominasi positivisme, dan seiring dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan hukum positif, maka kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional. Itulah realitas yang dipandang benar. Manakala ilmu hukum berbicara tentang keadilan, maka keadilan pun harus diukur dengan ukuran-ukuran yang rasional pula. Rasio menjadi di atas segala-galanya. Sejak saat itu, ilmu hukum menjadi ilmu yang distinct dan esoterik, baik dalam substansi, metodologi maupun administrasi.[20] Bahkan, Antonio Boggiano menyatakan bahwa kaum positivis hukum berusaha sedapat mungkin menghindari pembahasan tentang hukum dan moral.[21]

Hegemoni aliran positivistime-sekular seakan telah menjadi panggilan sejarah sekaligus bagian dari proses perkembangan ilmu hukum di sebagian besar belahan dunia ini. Hukum modern sebagai bentuk matang dari positivisme, menjadi kehilangan ciri kemanusiaannya yang utuh, ketika akal (ratio) diperankan melampaui batas-batas yang proporsional dengan mengabaikan wilayah-wilayah yang paling substansial, yaitu hati nurani. Sebagaimana dinyatakan oleh Nasr, bahwa hukum modern hanya mampu mengantarkan manusia untuk menemukan setengahnya saja dari dunia dan tidak bisa membantu manusia untuk menemukan The Great Chain Being.[22]

IV. EKSISTENSI TRANSENDENSI MORAL HUKUM ALAM DALAM HUKUM PROGRESIF

Hukum progresif hadir sebagai sebuah pencerahan pemikiran sekaligus sebagai kritik yang tegas atas belenggu positivism yang mengformalisasi hukum modern. Negara-negara modern saat ini meletakkan system hukumnya pada hukum modern[23] yang sangat sarat dengan bentuk-bentuk formal, procedural dan birokratis. Ini mengakibatkan hukum menjadi suatu institusi yang penuh dengan artificial dan esoteric, sehingga hukum hanya bisa dijangkau dan dijamah oleh orang-orang tertentu yang telah menjalani inisiasi dan pendidikan khusus. Hukum semakin menjauh dari masyarakat sebagai basis dan bahan hukum, bahkan hukum merupakan suatu mesin yang sengaja diproduksi untuk memproduksi masyarakat sebagaimana yang diinginkannya. Hukum adalah sebuah tatanan. Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil.[24]

Pemahaman Law as a tool of Social Engineering[25] sudah banyak bergeser, karena rekayasa masyarakat yang dilakukan oleh hukum dengan otoritas positivistiknya dan birokrasinya, sehingga dirasakan sangat represif oleh masyarakat, menyakitkan bahkan membentuk masyarakat yang sakit.

Masyarakat yang sakit dapat kita lihat dari begitu alerginya masyarakat pada aparat penegak hukum, seperti contohnya polisi. Lembaga kepolisian banyak dinilai oleh masyarakat sebagai lembaga yang sangat otonom sehingga kesipilannya tidak dirasakan, sampai-sampai terdapat kata-kata “hukum sengaja dibuat untuk dilanggar”, “berani membela yang bayar”, “hukum dapat dibeli”, dan masih banyak lagi. Mafia hukum, bahkan mafia peradilan adalah hamba-hamba hukum yang secara intelektual dan akademis belajar tentang hukum, namun justru mereka-merekalah yang bermain-main mempermainkan hukum dan basis hukumnya. Ini hal yang sangat memprihatinkan.

Seorang hakim Mahkamah Agung yang bernama Bismar Siregar menyatakan bahwa keadilan harus berada di atas hukum dan undang-undang. Ini senada dengan Taverne, yang menyatakan bahwa “berikan pada saya jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”.[26]

Pendidikan hukum yang mencetak sarjana-sarjana dan ilmuwan hukum lebih menekankan pembelajaran rule of law untuk mencetak tukang-tukang hukum yang mumpuni dan mempunyai kemampuan artificial dan esoteric dalam pembuatan maupun penegakan hukum. Hukum dibuat sedemikian rupa, seartifisial mungkin sehingga hukum berkarakter das sollen yang dalam prakteknya menjauh dari masyarakat. Sisi lain dari kemampuan berhukum tidak lagi penting, seperti pembentukan rule of man. Padahal, hukum dibuat oleh manusia, ditegakkan oleh manusia dan ditujukan untuk manusia. Berarti manusia adalah tokoh sentral dalam berhukum. Hukum tidak dibutuhkan kalau tidak ada manusia dan masyarakat. Karl Renner menyatakan bahwa “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”.[27]

Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.[28] Diperlukan perpaduan yang saling menyapa antara berbagai perspektif dalam memahami pemikiran hukum yang berkembang saat ini baik doctrinal maupun yang non doktrinal atau yang melakukan pendekatan analisis normologik, yakni wajah hukum yang beragam: (1) wajah hukum yang sarat dengan asas keadilan, (2) wajah hukum hukum yang sarat dengan norma yang dipositifkan melalui peraturan perundangundangan dan (3) wajah hukum yang judgemande atau yang tampil dalam putusanpurusan hakim, Tipologi wajah hukum yang demikian itu selalu eksis sebagai bagian dari suatu sistem doktrin atau ajaran, yakni ajaran tentang bagaimana hukum harus diketemukan atau diciptakan untuk menyelesaikan perkara atau problem solving baik dari dimensi kenegaraan maupun dimensi kemasyarakatan, sebaliknya dengan yang melakukan analisis nomologik, yakni logika hukum yang berlandaskan pada nomos (realitas sosial). Konsep hukum yang demikian itu jelas tidak akan menampilkan wajah hukum yang normatif (rules), melainkan sebagai regularities (pola-pola perilaku) yang terjadi dialam pengalaman dan atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari (sine ira et studio).[29]

Oleh karena itulah, Satjipto Rahardjo mengarahkan pencitraan fakultas hukum sebagai tempat menimba ilmu yang sangat teknologis diubah menjadi fakultas hukum yang berhati nurani, dengan mengajarkan compassion, commitment¸ dan emphathy.[30] Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam kerangka hukum progresif adalah dengan mengubah kultur pembuatan dan penegakan hukum agar terbentuk kultur hukum yang baik di masyarakat. Penegakan hukum diarahkan pada penegakan hukum yang bersifat kolektif. Kolektif yang dimaksud bukan menjadi sarang bagi komponen penegak hukum untuk membuat kompromi-kompromi politis, tetapi untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum pada sesuatu yang jauh lebih besar kepentingannya, yaitu kepentingan mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).[31] Oleh karena itu diperlukan recruitment fungsionaris hukum yang lebih mengutamakan predisposisi spiritual, disamping kemampuan akademis dan menerapkan prinsip reward and punishment sebagai spirit bagi mereka untuk terus berprestasin sekaligus sebagai ancaman yang menyakitkan bagi yang tidak memiliki komitment keadilan dan kebenaran.[32]

Hukum progresif lebih mengutamakan factor manusia daripada hukumnya, sehingga factor perilaku menjadi sesuatu yang paling penting di atas factor peraturan dalam berhukum. Oleh karena itulah, hukum progresif di antaranya bernafaskan teori-teori hukum alam, karena letak kepedualiannya terhadap hal-hal yang bersifat meta-juridical dan lebih mengutamakan the search for justice.[33] Meta-Juridical yang disampaikan dalam hukum alam adalah mutatis mutandis yang ada dalam dunia hukum. Kemampuan IQ (Intellectual Quotient) diperlukan untuk mewakili hukum analitis dengan bantuan logika. Namun, dibutuhkan kemampuan lain, yaitu EQ (Emotional Quotient), yaitu kemampuan berpikir dengan hati nurani dan badan. Terakhir, diperlukan SQ (Spiritual Quotient), yaitu kesempurnaan intelegensi dengan memanfaatkan semua kemampuan, yaitu akal, hati nurani dan spiritual. Keseluruhan ini ada pada setiap manusia sebagai kesatuan kodrati yang diberikan oleh Tuhan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum alam yang jauh lebih dulu dibandingkan hukum progresif, bahkan banyak menuai kritik dari positivism dan teori hukum murni, justru memberikan pencerahan ketika hukum berevolusi mengarah ke hukum modern. Hukum alam dengan konsep-konsep pemikiran para filsufnya kembali mengemuka dan menjadi rujukan penting ketika positivisme mengalami anomalies dan tidak mampu memberikan keadilan serta menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang ada di masyarakat.

Konsep moral yang bersifat meta-juridis dalam hukum alam menginspirasi hukum progresif untuk menempatkan hukum sebagai pemberi keadilan dan bekerja untuk manusia. Ini disebabkan hukum dibuat oleh manusia, ditegakkan oleh manusia dan ditujukan untuk manusia dan masyarakat. Sehingga hukum harus memiliki hati nurani, undang-undang yang berhati nurani, pengadilan yang berhati nurani dan pembuat serta penegak hukum yang berhati nurani. Rule of man adalah inti dari hukum, karena perilaku diletakkan di atas peraturan dan moral diletakkan di atas hukum. Sedangkan manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan ideen haft yang membedakannya dengan makhluk material lainnya, karena memiliki softwere akal, budi dan hati nurani, sehingga manusia menjadi satu kesatuan kodrati dengan moral. Moralitas itu secara kodrati melekat pada manusia dan oleh karenannya hukum bisa lebih bermoral dan berhati nurani.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Ali , Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Arizona, Yance, bekerjasama dengan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), http://yancearizona.wordpress.com/ 2007/12/30/hukum-progresif-yang-mengalir/

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Douzinas, Costaz. et. al., 1991, Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in The Texts of Law Routledge : London.

Friedman, L.M., 1990, American Law, New York: WW Norton&Co.

F. Susanto, Anton, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif Transgresif, Bandung: Refika Aditama.

Ghazali, Implementasi Moral ke Dalam Sistem Hukum, www.badilag.net

Nasr, Seyyed Hossein, 1976, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, George Allen &Unwin Ltd, London,

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti.

______________, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

______________, 2009, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta; Genta Publishing.

Renner, Karl, 1969, The Development of Capitalist Property and The Legal Institutions Complementary to The Property Norm, dalam “Sociology of Law”, Vilhelm Aubert (ed)., Harmondsworth: Penguin Books.

Roestandi, Achmad, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico.

Suseno, Frans Magnis, 1997, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius.

Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam Pradigma “Thawaf” (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Hukum Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory yang meng-Indonesia, http://eprints.undip.ac.id/3222/2/Paradigma_Hukum_Progresif_Prof_Satjipto_Rahardjo.pdf.

Wignyosoebroto, Soetandyo, 2001,"Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.


[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006), hlm.20

[2]Kekuatan social terdiri dari empat kekuatan, yaitu kekuatan uang, kekuatan politik, kekuatan massa dan kekuatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 33.

[3] Konsep sibernetik ini pertama kalidi sampaikan oleh Norbert Wiener pada tahun 1947 untuk memberikan nama pada proses control otomatis. Berasal dari kata Yunani kybernetike, yang berarti seni keahlian untuk mengarahkan. Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 136.

[4] Ibid., hlm. 137.

[5] Ibid., hlm. 260.

[6] Aliran hukum alam irasional ini diikuti oleh beberapa filsuf, yaitu Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe dan Johannes Huss.

[7] Aliran hukum alam rasional didukung oleh Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Imanuel Kant dan Samuel von Pufendorf.

[8] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 104.

[9] Ibid., hlm. 105.

[10] L.M. Friedman, American Law, (New York: WW Norton&Co, 1990), hlm. 62.

[11] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 110-111.

[12] Ibid., hlm. 111-112.

[13] Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 126.

[14] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 262.

[15] Postpositisme lahir pada tahun 1970-1980an sebagai kritik terhadap positivism logis. Secara ontologism, aliran ini bersifat critical realism, yang memandang bahwa realitas senyatanya sesuai dengan hukum alam.Pemikiran aliran ini banyak dipengaruhi oleh Neil Bohr, Werner Heisenberg dan Einstein. Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), hlm. 54-55.

[16] Costaz Douzinas. et. al., Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in The Texts of Law (Routledge : London, 1991), h. 28.

[17] Anton F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif Transgresif, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 69.

[18] Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico-Bandung, 1992. hlm 80

[19] Ghazali, Implementasi Moral ke Dalam Sistem Hukum, www.badilag.net

[20] Ibid.

[21] Anton F. Susanto, Op.Cit., hlm. 68.

[22] Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, George Allen &Unwin Ltd, London 1976.

[23] Karakteristik hukum modern adalah : 1. Mempunyai bentuk tertulis, 2. Hukum berlaku untuk seluruh wilayah Negara dan 3. Hukum merupakan instrument yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 214.

[24] Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam Pradigma “Thawaf” (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Hukum Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory yang meng-Indonesia, http://eprints.undip.ac.id/3222/2/Paradigma_Hukum_Progresif_Prof_Satjipto_Rahardjo.pdf.

[25] Law as a Tool of Socialisa me Engineering adalah teori yang dikemukakan oleh Roscou Pound, yang menyatakan bahwa hukum adalah sarana/alat yang dapat digunakan untuk melakukan rekayasa social. Social Engineering bersifat sistematis, yang diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang secara riil ada di masyarakat, memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, membuat hipotesa-hipotesa dan mengutamakan hal-hal penting untuk lebih didahulukan untuk dicari penyelesaian permasalahannya dan mengiringi terus menerus jalannya penerapan hukum serta senantiasa mengukur efektivitas dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Ibid., hlm. 208.

[26] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta; Genta Publishing, 2009), hlm. 10.

[27] Kar Renner, The Development of Capitalist Property and The Legal Institutions Complementary to The Property Norm, dalam “Sociology of Law”, Vilhelm Aubert (ed)., (Harmondsworth: Penguin Books, 1969), hlm. 33.

[28] Yance Arizona bekerjasama dengan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), http://yancearizona.wordpress.com/2007/12/30/hukum-progresif-yang-mengalir/

[29] Soetandyo Wignyosoebroto, "Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, halaman 11-15.

[30] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 25.

[31] Ibid.

[32] Ibid., 25-26.

[33] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 93.