Tuesday, May 11, 2010

Cyberporn: Tinjauan Sosiologi Hukum


FENOMENA CYBERPORN
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
Oleh : Novita Dewi Masyithoh, SH., MH.


Abstrak

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat diimbangi dengan perkembangan teknologi yang telah melintasi batas negara-negara di dunia merupakan suatu pencapaian dan pemutakhiran dalam globalisasi keilmuan. Sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan manusia dengan akal dan budi yang dimiliki mampu menggenggam dunia ini dengan segala isinya dalam satu genggaman rapat, yang di satu sisi dengan genggamannya mampu mengupayakan pemanfaatan ilmu dan teknologi untuk tujuan kemaslahatan dan di sisi lain dengan genggamannya mampu meremukredamkan peradaban yang telah dimiliki manusia ribuan tahun lamanya.
Internet adalah salah satu bukti perkembangan ilmu dan teknologi yang telah mampu dibuktikan dengan menjamurnya teknologi ini di seluruh dunia. Teknologi informasi dan komputer ini telah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai teknologi yang berbasis mayantara, sehingga mampu diakses secara transnasional melintasi batas suatu negara, sehingga dapat mempermudah arus informasi dan komunikasi yang dapat melahirkan keuntungan-keuntungan dengan meminimalisir pengorbanan. Banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk kepentingan-kepentingan bisnis publik (e-commerce), bahkan pemanfaatannya sudah mencapai kebutuhan privat dan menimbulkan ketergantungan teknologi tersendiri bagi pemakainya.
Kenyataan ini membawa implikasi yang lebih jauh dan serius, karena akan semakin marak bermunculan modus-modus baru dalam bertransaksi dan berkomunikasi. Cyberporn, atau yang biasa dikenal dengan cybersex/orgasmaya adalah salah satunya. Pornografi di internet tidak dapat dihindari karena arus informasi dan komunikasi menggiring manusia pada suatu ruang atau dunia baru yang merupakan suatu alternatif pemuasan kebutuhan yang biasa disebut dengan cyberspace.

(Keywords: cyberporn, cyberspace, pornografi, kebijakan penal, kebijakan non penal, sosiologi hokum, hokum)


I. PENDAHULUAN
Keberadaan internet semakin pesat dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Di setiap daerah, terlebih di kota-kota besar, sangat menjamur warung internet (warnet) yang tersebar, tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi juga di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Terlebih saat ini, dengan adanya persaingan pasar sempurna, pebisnis warnet menawarkan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi kantong orang dewasa sampai dengan anak-anak. Tidak hanya itu, penawaran modem dan fasilitas pemasangan internet, baik kabel maupun tanpa kabel sudah memasuki segala lini di masyarakat. Setiap jasa telekomunikasi melengkapi teknologinya dengan fasilitas ini. Dengan harga pra bayar maupun pasca bayar yang tidak menguras kantong, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi ini dengan harga yang terjangkau. Di rumah, di sekolah, di tempat-tempat umum dapat menggunakan teknologi ini, bahkan dengan penawaran pemakaian secara unlimited. Di tempat-tempt publik pun, saat ini sudah banyak yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot area, sehingga tanpa mengeluarkan sepeserpun uang, dapat mengakses teknologi internet dengan mudah.
Kemudahan lain dapat diperoleh dengan fasilitas kemudahan dalam penggunaan internet. Cukup dengan mengetik serangkaian kata melalui search engine (keyword) yang diinginkan, maka akan diperoleh dengan mudah data dan informasi yang disajikan oleh berbagai macam situs. Bahkan seringkali, kesalahan dalam menulis/mengetikkan keyword, dapat memunculkan data, gambar, atau informasi yang tidak diduga, bahkan tidak sedang dicari dan berbau pornografi. Ini karena internet memang menyuguhkan berbagai hal sehubungan dengan kebutuhan informasi dan komunikasi, baik yang bersifat publik mapun privat.
Perkembangan di bidang teknologi informasi yang semakin pesat saat ini merupakan jawaban atas makin komplesknya kebutuhan manusia akan informasi dan komunikasi Jaringan komunikasi dan informasi dunia atau dikenal juga dengan teknologi cyberspace, berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Internet adalah media penyedia informasi dan kegiatan komunitas komersial terbesar dan tumbuh berkembang dengan sangat pesat.
Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual cafĂ©, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm. . Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan, sebagaimana yang dimyatakan oleh Neill Barrett dan Mark D. Rasch bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, di mana 80% gambar di internet adalah gambar porno.
Cyberporn atau cybersex merupakan salah satu dari sisi negatif dari adanya teknologi informasi ini. Hal ini disebabkan sex merupakan suatu komoditi yang dapat membawa profit cukup besar dalam bisnis, terlebih melalui jasa e-commerce. Pornografi yang merambah sampai ke dunia maya dapat dengan mudah diakses oleh siapapun, tanpa batasan usia, kelamin, tingkat pendidikan, maupun stratifikasi sosial. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi sex secara online, melahirkan kepuasan dan keprivatan tersendiri, yang seringkali didalilkan tidak banyak merugikan, karena keresahan dan efek negatifnya tidak secara langsung dapat dirasakan.
Berdasarkan kenyataan inilah, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini dari sudut pandang ilmu sosiologi hukum, karena keberadaan cyberporn di satu sisi dijadikan pembenaran sebagai sarana kebutuhan yang relatif responsif dengan kebutuhan jaman dan di sisi lain memberikan dampak yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga tuntutan akan aturan hukum menjadi ultimum remedium atas kebijakan penal negara untuk memberikan ganjaran dengan sanksi hukumnya, dan sekaligus sebagai warning atau penentu norma sebagai kebijakan non penalnya. Permasalahan ini akan penulis bahas lebih lanjut dalam tulisan yang berjudul Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum.

II. PERMASALAHAN
Dalam tulisan ini, pokok permasalahan yang selanjutnya akan dipaparkan dalam pembahasan adalah :
1. Bagaimanakah fenomena cyberporn di Indonesia dan penegakan hukumnya?
2. Bagaimanakah fenomena cyberporn dalam perspektif sosiologi hukum ?

III. PEMBAHASAN
A. Fenomena Cyberporn
Perkembangan teknologi telah memberikan ruang dan peluang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat. Internet adalah salah satu sarana/media yang sering digunakan untuk melakukan transaksi dagang, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran berita dan informasi, di sisi lain dimanfaatkan pula untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya, bahkan dalam transaksi seks.
Menurut Dimitri Mahayana internet merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan) yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.
Secara etimologi, pornografi berasal dari dua suku kata, yaitu pornos dan grafi. Pornos, artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan di masyarakat.

Pornografi bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Bahkan dalam lingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali. Pornografi tradisional biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape. Kehadiran Internet dan cyberspace memberi warna tersendiri dalam persoalan pornografi.
Pornografi di internet berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences yang terdapat dalam Title 3, article 9. Setidak-tidaknya ada empat pendapat yang berkaitan dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen, yaitu:
“Pornography is bad because it is violence and oppression (Catharine Mackinnon) Pornography must be tolerated for free speech reasons (Nadine Strossen) Pornography is good, liberating, allows us to grow as sexual beings (Wendy McElroy) Pornography is absolutely bad by religious commandement or other rule arising from a morality of prohition”.

Jaringan komunikasi global interaktif melalui fasilitas internet relay chat dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cybersex. Ada dua bentuk dari cybersex dalam ruang chatting, yaitu Computer mediated interactive masturbation in real time dan Computer mediated telling of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,
pornografi adalah : gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Berdasarkan pengertian pornografi yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan pornografi secara luas, dalam arti yang dipublikasikan melalui berbagai bentuk media komunikasi. Namun, secara khusus masalah pornografi melalui dunia maya terdapat dalam lex specialie-nya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
American Demographic Magazine yang menghitung jumlah situs porno dan jumlah halaman situs porno. Pada tahun 1997 terdapat 22.100 situs porno. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 280.000 dan pada tahun 2003 meningkat hamper empat kali lipatnya, yaitu menjadi 1,3 juta situs porno. Sedangkan, halaman situs porno di dunia pada tahun 1998 terdapat 14 juta dan meningkat tajam pada tahun 2003, yaitu menjadi 260 juta. Pada tahun 2008, data terakhir halaman situs porno di dunia telah mencapai 420 juta.
Kenyataan ini tidak dapat terelakkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Washington Times tahun 2000. Weiss menyatakan bahwa sex adalah topik no. 1 yang dicari di Internet. Studi lain yang dilakukan oleh MSNBC/Standford/Duquesne menyatakan bahwa 60% kunjungan internet adalah menuju ke situs sex (porno). Data ini disempurnakan oleh publikasi dari The Kaiser Family Foundation yang menyatakan bahwa 70% kunjungan pengguna Internet belasan tahun adalah menuju ke situs pornografi. Penelitian lain yang dikeluarkan oleh TopTenReviews.Com menyatakan bahwa sebenarnya dominasi pengunjung Internet di Amerika justru orang berumur 35-44 tahun (26%). Lengkapnya lihat dari gambar di bawah ini :

Age Prosentase (%)
18-24 13,61%
25-34 19,90%
35-44 25,50%
45-54 20,67%
55+ 20,32%

Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono dinyatakan bahwa setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta.
Penyebaran pornografi di dunia maya sangat berhubungan dengan industry pornografi yang melintasi batas antar negara. Amerika merupakan Negara penyumbang terbesar 89% situs pornografi di dunia. Diikuti oleh Jerman, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda menyusul di belakangnya. meskipun Amerika penyumbang situs porno terbesar di dunia, ternyata hanya menduduki urutan keempat dalam jumlah pendapatan (revenue) dari industri pornografi di dunia. Pemenangnya justru China yang diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang. Total pendapatan pertahun industri pornografi di dunia adalah sekitar 97 miliar USD, ini setara dengan total pendapatan perusahaan besar di Amerika yaitu: Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo!, Apple, Netflix and EarthLink. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya industri pornografi di dunia. Sedikit berkaitan ini, salah satu tulisan di CNET tahun 1999 menyebutkan bahwa: Pornografi online adalah produk ecommerce yang secara konsisten menduduki peringkat pertama dalam bisnis di Internet. Dari berbagai data tentang pornografi Internet diatas, yang cukup mencengangkan adalah bahwa ternyata penikmat dan penerima ekses negatif dari industri pornografi di Internet bukan negara-negara produsen, tapi justru negara-negara kecil dan berkembang sebagai konsumen. Kita bisa lihat dari tren request pencarian dengan tiga kata kunci, yaitu xxx, porn dan sex, semuanya dikuasai oleh negara kecil atau berkembang seperti Pakistan, Afrika Selatan, India, Bolivia, Turki, dan juga Indonesia.

Keyword : sex
1 Pakistan
2 India
3 Egypt
4 Turkey
5 Algeria
6 Morocco
7 Indonesia
8 Vietnam
9 Iran
10 Croatia

Menurut Dr. Mary Anne Layden seorang peneliti dari University of Pennsylvania, cyberporn membawa dampak yang tidak baik, yaitu :, meningkatnya kriminalitas. Ia mengatakan , ”Saya telah memberikan pendampingan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Dan saya belum pernah menangani 1 kasus pun yang tidak diakibatkan oleh Pornografi. Pornografi memicu agresifitas dan pada akhirnya memicu seseorang untuk melakukan perbuatan kriminal.”
Kedua, resiko terhadap psikologis dan pendidikan. Menurut VB Cline, seorang riserter masalah psikososial dan pornografi, mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : (1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu : peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu : kian menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu : Pecandu pornografi mulai mempraktekan. Ketiga, resiko kesehatan. Menurut Divisi Kesehatan ASA Indonesia Dewi Inong Irara, spesialis penyakit kulit dan kelamin, memaparkan resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS ) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Keempat, resiko kultural ( pergeseran nilai-nilai ). Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.

B. Penegakan Hukum Cyberporn di Indonesia
Untuk mencegah dan menanggulangi maraknya pengakses situs porno, maka hukum pidana dapat digunakan untuk sebagai alat meskipun hanya bersifat pengobatan simptomatik. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial dan keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai bagian dari politik kriminal.
Dalam KUHP, pornografi merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283. Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282 KUHP baik yang terdapat dalam ayat (1), (2) maupun (3) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;
b. membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;
c. dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh di dapat.
Di luar KUHP, negara telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianggap kurang memadai dan belum mampu memenuhi kebutuhan penegakan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna dengan nama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Selanjutnya, untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1), bahwa :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Selain itu, juga telah ada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 menetapkan Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Teknologi Telematika (ICT). di Indonesia yang tertuang dalam INPRES No. 6 Tahun 2001. Dalam INPRES tersebut dinyatakan bahwa warung internet (warnet) merupakan ujung tombak untuk mencapai tujuan yang diinginkan di samping warung telekomunikasi (wartel). Teknologi warung internet dimungkinkan untuk masuk ke desa-desa terpencil di pegunungan maupun di pantai asal ada infrastruktur telekomunikasi meskipun mungkin tidak sebaik di perkotaan.
Ini berarti teknologi informasi melalui internet telah merambah dan masuk ke daerah-daerah tanpa mampu dihindari. Di satu sisi, bermanfaat membuka cakrawala ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat di daerah. Namun, kemanfaatan ini apakah sudah sesuai dengan kemungkinan resiko dan efek negative yang mungkin timbul dengan keberadaan internet? Belum tentu. Selain menjadi ujung tombak dalam rangka pemberdayaan teknologi informasi dan telematika, warung internet juga merupakan ujung tombak bagi para penikmat situs-situs porno. Dalam konteks pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, pengusaha atau pemilik warnet menghadapi dilema. Dilema-dilema tersebut adalah:
a. situs porno merupakan daya tarik yang luar biasa dan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan bagi pengusaha ini merupakan icon keuntungan;
b. adanya larangan atau himbauan bagi penunjung untuk tidak mengakses situs porno akan menurunkan jumlah pengunjung;
c. untuk mengontrol pengguna internet agar tidak memasuki situs porno sangat sulit karena diperlukan biaya yang relative besar
d. pembatasan usia pengunjung warnet akan semakin mempersulit pemasaran yang akibat lebih jauh mengakibatkan gulung tikar usaha warnet;
e. tidak semua pengusaha atau pemilik warnet mempunyai kemampuan untuk memasang software yang mampu menyaring situs-situs mana yang boleh dibuka.
Kebijakan penal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, dalam penegakan hukumnya belum dapat berjalan dengan baik karena terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Ada banyaknya persepsi dalam memberikan penafsiran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tentang pornografi. Seringkali, penafsiran pornografi dan kesusilaan berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Di samping itu adalah kesulitan dari aparat keamanan untuk melacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar atau tulisan porno, krn locus delicte dari cyberporn adalah cyberspace itu sendiri. Diperlukan keahlian dan kemampuan berselancar di dunia maya untuk mengikuti modus cyberporn yang terus menerus berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telematika yang ada. Selain itu adalah keengganan hakim-hakim kita untuk mendobrak tradisi lama yang legism oriented dengan pendekatan baru yang mengedepankan searching for turth and justice.
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam setiap kebijakan penal, harus mampu diimbangi dan diminimalisir dengan kebijakan non penalnya, sehingga kebijakan penal dan non penal harus berjalan beriringan dan saling melengkapi, sehingga efektivitas penegakan hokum tidak mengalami stagnasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran dan penyaringan/ pemfilteran data dan informasi melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi dengan mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi. Di sisi lain, peran serta masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak negative pornografi dan upaya pencegahannya.
Kebijakan non penal dapat pula dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Walaupun di dalam praktiknya koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat tersebut karena di satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak hukum. Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga warnet-warnet yang mampu untuk itu) terdapat beberapa software yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka yang belum cukup umur.
Selain itu, dapat dilakukan pula dengan menggunakan pendekatan sosial budaya (berupa ikut campurnya mereka-mereka yang terlibat dalam bisnis layanan jasa internet) dan secara teknis atau techno prevention berupa penambahan software-software tertentu pada perangkat komputer yang digunakan untuk akses ke internet.

C. Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Sosiologi hokum memandang hokum sebagai bentuk perwujudan dari kehendak masyarakat. Karena pada dasarnya, hokum itu ada karena ada masyarakat. Ketika terbentuk suatu komunal yang bernama masyarakat, diperlukan aturan-aturan yang pada dasarnya dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur kehidupan kebersamaan mereka guna mencapai tujuan-tujuan. Keberadaan masyarakat hendaknya dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum.
Menurut Emille Durkheim, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”. Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial.
Secara sosiologi hukum makro, kenyataan (das sein) merupakan suatu realitas yang tidak dapat terpisahkan dari system social. Ini berarti, adanya kesinambungan dan kesatuan di antara bagian-bagian sebagai keseluruhan elemen di masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh M. Munandar Soelaeman, bahwa masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang salig berkaitan dan menyatu dalam kesinambungan. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dan setiap elemen dalam satu system social fungsional terhadap yang lain. Ini disebut dengan teori fungsionalisme structural, yang menjadi bagian teori dari paradigma fakta social.
Keberadaan cyberporn di Indonesia lengkap dengan teknologi informasi dan telematika yang menyertainya merupakan suatu realitas teknologi yang masuk ke Indonesia melalui kecanggihan cyberspace. Oleh karenannya, masyarakat Indonesia tidak dapat mengelakkannya karena merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak dapat membatasi diri dari pergaulan dunia dan menutup diri akan kebutuhan teknologi di jaman globalisasi ini.
Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik sendiri, dengan keunggulan nilai-nilai dan norma-norma yang secara menginternal menjadi satu kesatuan dari bagian masyarakat. Norma-norma dan pola nilai ini disebut dengan institutions atau biasa disebut dengan pranata. Dalam sosiologi modern, pranata social ini dipandang sebagai antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktifitas manusia dalam masyarakat. Pornografi adalah hal yang pada dasarnya melukai norma-norma di masyarakat Indonesia yang selama ini dipegang teguh. Oleh karena itulah, kebijakan penal yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan pornografi telah diundangkan. Das Sollen yang yang merupakan arah tujuan hokum yang bersifat abstrak dan harapan akan hokum yang seharusnya (ideal), masih menempatkan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri kekurangan dan kelemahan tentang substansi hukumnya, yang seringkali mengalami ketegangan (spannungsverhaltnis) karena banyak hal dalam substansi undang-undang yang tidak sejalan dengan kultur hukumnya, seperti ancaman hukuman yang sangat berbeda ketika Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE tentang pasal pornografi dibandingkan. Padahal keduanya merupakan undang-undang di luar KUHP yang memiliki fungsi sama sebagai lex specialis dalam permasalahan pornografi.
Namun, menurut teori fungsionalisme structural, keberadaan cyberporn menguji kekuatan nilai dan norma yang selama ini membingkai keteraturan di dalam masyarakat sekaligus menjadi skala dan parameter, sejauhmanakah cyberporn mampu menggilas habis kekuatan nilai dan norma yang selama ini dipertahankan di masyarakat. Sistem social yang disangga oleh kekuatan nilai dan norma apakah akan runtuh sedemikian dahsyatnya dengan masuknya cyberporn. Karena menurut teori, masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan (equilibrium) karena di masyarakat telah dilengkapi dengan system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu sehingga masyarakat senantiasa seimbang. Semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Melihat fenomena cyberporn di Indonesia sebagaimana telah penulis jelaskan, tampak bahwa efek negative dari cyberporn telah mewabah dan sebagian telah merusak generasi, dari mulai anak-anak generasi muda dan bahkan sampai usia tua. Sedangkan pada kenyataannya, keberadaan internet telah masuk sampai ke daerah-daerah di pinggiran kota dan pedalaman. Terlebih Indonesia telah masuk dalam peringkat 10 besar pengguna internet yang memanfaatkan cyberporn dalam aktifitasnya di dunia maya. Ini berarti, banyak pranata yang telah ditinggalkan dan tergilas oleh keberadaan cyberporn. Nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat semakin terkikis, sehingga ukuran atau patokan yang mendasari nilai-nilai mengalami pergeseran, dari yang tidak baik, menjadi lumayan baik, atau bahkan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Demikian juga dengan patokan berperilaku yang mendasari norma-norma, menjadi semakin kabur.
Namun di sisi lain, keberadaan cyberporn telah melahirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pornografi, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 44 Tahun 2008. Walaupun sangat terlambat dan kurang reponsif akan perkembangan masyarakat dan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara fungsionalisme structural, keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Cyberporn atau pornografi di dunia maya telah menjadi bagian satu paket dengan masuknya teknologi informasi dan telematika internet ke Indonesia yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga dirasakan dampak negatifnya.
2. Penegakan hokum cyberporn dilakukan dengan dua kebijakan, yaitu kebijakan penal melalui peraturan perundang-undangan, yaitu diundangkan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dan kebijakan non penal melalui sosialisasi, pendidikan upaya-upaya preventif lainnya yang berfungsi mencegah dampak negative keberadaan cyberporn bagi masyarakat.
3. Keberadaan cyberporn secara sosiologis telah mempengaruhi efektivitas nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan sebagai pranata yang selama ini mengatur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi keterkikisan nilai-nilai yang pada akhirnya dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai di masyarakat. Oleh karena itu, secara fungsionalisme structural, kebijakan penanggulangan pidana secara penal dan non penal adalah bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA


Allen, C.K., 1964, Law in the Making, New York: Oxford University Press.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Barrett, Neill, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, London, Kogan Page Ltd.

Blumen, Jonathan, 1995, Is Pornography Bad ? http://www.spectacle. org/Is_Pornography_Bad.html.

Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Friedman, Wolfgang, 1953, Legal Theory, London, Stevens and Sons,.

Hamman, Robin B., 1996, Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms, 30 September, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.com/Cyberorgasm.html.

Hamzah, Andi, 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, Bina Mulia,.

Hunt, Alan, 1978, The Sociological Movementin Law, London, Billing and Sons.

Mahayana, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung, Rosda.

Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Perkasa.

Perdana, Ricky, 2009, Pornografi di Indonesia Semakin Mengganas, http://riky-perdana.blogspot.com/2009/01/pornografi-di-indonesia-semakin.html

Raharjo, Agus dan Sunaryo, 2002, Cyberporn (Studi Tentang Aspek Hukum Pidana Pornografi Di Internet, Pencegahan dan Penanggulangannya), Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti.

Ritzer, George, 1980, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Allyn and Bacon Inc.

Soelaeman, M. Munandar, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

TopTenReviews.Com

Wahono, Romi Satria, 2008, Tahukan Anda Beberapa Kenyataan ini? http://agungcyber.blogspot.com/2008/04/indonesia-rangking-7-kupas-tuntas.html.
Waisan, Ronny, 2009, Aturan Tindak Pidana dalam UU Pornografi dan UU ITE tentang Informasi Elektronik bermuatan Pornografi, http://ronny-hukum.blogspot.com/2009/04/tinjauan-aturan-tindak-pidana-dalam-uu_01.html.

Wednesday, May 5, 2010

Perbandingan Madzhab Ilmu Hukum


MENGKRITISI ANALYTICAL JURISPRUDENCE

VERSUS SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

DALAM PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Novita Dewi Masyithoh


ABSTRAK

Pembahasan mengenai Analytical Jurisprudence versus Sociological Jurisprudence ini, berangkat dari keprihatinan atas pemahaman yang terus berkembang mengenai hokum dengan cara pandang masing-masing madzhab hokum yang ada. Sehingga menempatkan hokum pada dua pemahaman besar, yaitu Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence. Kedua paham ini terus menerus saling mengoreksi dan mengkritik, sehingga eksistensinya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu hokum. Namun, pertanyaan besar bagi penulis, apakah paham yang satu lebih dari yang lain, sehingga perbedaan di antara keduanya terpisahkan dalam jurang yang begitu dalam dan tajam? Selanjutnya, apakah membawa dampak dalam perkembangan hokum di Indonesia?

A. Analytical Jurisprudence

Analytical Jurisprudence atau rechtsdogmatiek adalah suatu paham dalam ilmu hukum yang dilandasi oleh gerakan Positivisme. Gerakan ini muncul pada abad ke sembilanbelas sebagai counter atas pandangan hukum alam.[1]

Pada saat keadaan mengalami kestabilan untuk perkembangan aliran Positivisme, maka aliran ini berkembang dengan pesat. Namun ada sebagian abad kesembilanbelas terjadi kegoncangan karena Positivisme dinilai telah gagal dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan moral dan kepercayaan sosial masyarakat. Positivisme dianggap tidak mampu memberikan jawaban atas penyalahgunaan kekuasaan dan pengkebirian hak-hak individu dan kemerdekaan yang mereka miliki. Selanjutnya, Positivisme mengalami kemunduran dan hukum alam mengalami kebangkitan kembali, yang biasa dikenal dengan “Kebangkitan Doktrin Hukum Alam”.

Positivisme didukung oleh pengikut-pengikutnya, seperti H.L.A. Hart dan John Austin. John Austin menyatakan bahwa :

Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber lainnya merupakan subordinate sources. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung. Pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi itulah pembuat hukumnya dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Jurisprudence adalah ilmu hukum positif.[2]

H.L.A Hart pun menyatakan hal yang menguatkan pendapat Austin, bahwa:

Hukum adalah perintah. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. Judgment, secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. Hukum adalah sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum yang harus dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan diinginkan. Inilah yang diterima sebagai pemberian arti dari Positivisme.[3]

Selanjutnya, Analytical Jurisprudence juga sangat dipengaruhi oleh teori hukum murni, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pengembangan yang kritis dari Positivisme. Teori hukum murni juga mengkritisi Hukum Alam yang bersifat ideologis filosofis, yang menekankan hukum sebagai manifestasi dari moral kemanusiaan. Teori Hukum Murni hanya menerima hukum sebagaimana adanya dalam bentuk peraturan-peraturan yang kongkrit. Ini adalah teori hukum positif yang hanya mempersoalkan apakah hukumnya dan bagaimana melaksanakannya. Bukan mempertanyakan bagaimanakah hukum yang seharusnya. Oleh karena itu, hukum adalah peraturan yang sangat berbeda dan tidak ada hubungannya dengan konsep keadilan. Keadilan dipandang sebagai konsep ideologis yang bersifat abstrak dan tidak rasional, karena itu tidak menjadi bagian dari hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh Hans Kelsen sebagai tokoh utama hukum murni, bahwa :

Keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ini adalah konsep ideologis, suatu idealisme yang irasional, karena keadilan tidak dapat dijadikan subyek dalam pengetahuan. Jurisprudence adalah normatif, sebagai suatu teori tentang norma-norma yang tidak memperhatikan persoalan efektivitas norma hukum.[4]

Teori hukum murni hanya menempatkan hukum secara normatif, semata-mata hanya berada dalam dunia sollen. Oleh karena itu, konsep grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dan menjadi dasar hukum yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Hukum merupakan suatu bentuk penalaran logis yang mempunyai kekuatan untuk melakukan ekspansi logis yang tidak memperhatikan segi manusiawi dan konstrukinya untuk memperoleh hasil yang diklaim secara logis adalah benar.[5] Analytical Jurisprudence berkutat dalam sistem hukum positif dan dekat dengan tipe hukum otonom.[6]

B. Sociological Jurisprudence

Sociological Jurisprudence muncul pada pertengahan abad ke sembilanbelas dan abad ke duapuluh. Diawali dengan munculnya aliran Sejarah dan Antropologis yang mulai meletakkan hukum pada lingkungan sosial. Tokoh utamanya Friedrich Carl von Savigny dalam bukunya Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum). Menurutnya,

Pada waktu-waktu yang lampau, sebagaimana dapat diketahui dari sejarah kuno, hukum telah dapat diketemukan dalam bentuk yang pasti, bersifat khas untuk masing-masing rakyat, seperti adat mereka, bahasa mereka, dan struktur masyarakatnya. Tidak, fenomena ini tidak mempunyai eksistensi yang terpisah, semua itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari rakyat. Yang mengikat semua itu ke dalam satu kesatuan adalah keyakinan yang sama dari rakyat, kesadaran yang sama dalam hati tentang adanya keharusan. Hakikat dari hukum adalah pencerminan jiwa rakyat.[7]

G. Puchta juga menyatakan hal yang sama, bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya, ia akan mati manakala bangsa itu kehilangan bangsanya.[8]

Aliran sejarah ini membuka jalan untuk pertama kalinya bahwa hukum adalah suatu unikum. Selanjutnya, pemahaman hukum mulai diarahkan pada keberadaan masyarakat. Aliran Antropologis, yang digawangi oleh Sir Henry Maine mengemukakan pendapat yang berkeseimbangan dengan Savigny. Paul Bohannan, menyatakan bahwa :

Hukum berhubungan dengan kebiasaan, di mana definisi-definisi hukum dapat dijumpai pada kebiasaan. Kebiasaan adalah seperangkat norma-norma yang secara nyata dilakukan dalam praktek sehari-hari. Perbedaannya adalah apabila hukum adalah kebiasaan yang diciptakan kembali secara khusus oleh badan-badan dalam masyarakat dalam bentuk yang lebih sempit dan jelas. Ini berarti hukum menempatkan suatu pelembagaan (reinstutionalization) dari kebiasaan.[9]

Aliran Antropologi menyatakan bahwa untuk mempelajari hukum dituntut pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap masyarakat. Studi hukum tidak dapat membatasi dirinya hanya pada pengamatan terhadap bentuk-bentuk dan lembaga-lembaga yang ada.

Kedua aliran ini memberikan perubahan yang mendasar dalam memahami hukum, yang selama abad delapanbelas dan sembilan belas berkutat pada pemahaman hukum normatif positivistik. Keberadaan masyarakat mulai dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum. Pemahaman ini semakin berkembang dengan munculnya berbagai pendekatan sosiologis. Dipelopori oleh Auguste Comte dengan ilmu yang dikembangkan bernama Sosiologi.

Tokoh aliran Sosiologi lainnya adalah Emille Durkheim yang membagi hukum menjadi dua disesuaikan dengan tipe masyarakatnya, yaitu hukum represif untuk masyarakat dengan solidaritas mekanik dan hukum restitutif untuk masyarakat dengan solidaritas organik. Menurutnya, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”.[10] Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial.[11]

Tokoh aliran Sosiologi yang sering dikaitkan dalam perkembangan Sociological Jurisprudence, yaitu Roscoe Pound, dengan teori yang dikemukakannya Law as a Tool of Social Engineering. Menurutnya, tujuan dari Social Engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa,sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan, dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan.[12] Pound mencoba untuk menyusun nilai-nilai hokum yang utama dalam suatu masyarakat yang “beradab”, yang bersifat relative, yaitu “beradab untuk kurun waktu dan tempat tertentu”.[13]

C. Analytical Jurisprudence versus Sociological Jurisprudence dalam Perkembangan Hukum di Indonesia

Sebagaimana telah dibahas di atas, Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence dalam perkembangan ilmu hokum, dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang tajam di antara keduanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Black dan Milavanovich, yang membagi teori hokum dalam model hokum menjadi dua, yaitu Jurisprudentie Model dan Sociological Model. Dalam Jurisprudentie Model, kajian hokum lebih difokuskan kepada produk kebijakan (aturan/rules). Proses hokum berlangsung ditata dan diatur oleh sesuatu yang disebut sebagai logic. Hokum dianggap sebagai sistem yang abstrak, yang hadir dalam bentuk keharusan-keharusan (das sollen).[14]

Sedangkan Sociological Model, kajiannya difokuskan pada struktur social yang selalu memperhatikan dan memperlihatkan perubahan dengan perhatian utamanya pada “perilaku” masyarakat.[15]

Selain itu, J.J.H. Bruggink juga menempatkan kedua model tersebut dengan nama Dogmatika Hukum dan Sosiologi Hukum.[16]Ini berarti, Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence telah menjadi bagian dari denyut nadi hokum dan menginspirasi munculnya berbagai teori hokum. Perkembangan ilmu hokum menjadi semakin marak, karena masing-masing jurisprudence tersebut menawarkan pemahaman yang sampai saat sekarang keduanya masih banyak dipakai. Walaupun kehadiran Sociological Jurisprudence yang masih lebih muda dibandingkan Analytical Jurisprudence, namun ketertarikan para ilmuwan hokum untuk mengembangkannya tampak demikian pesat.

Namun, pada titik ini perlu dikaji kembali, apakah satu dari yang lain dari kedua jurisprudence ini lebih baik? Sehingga sampai terjadi pertentangan yang berujung saling mengklaim kebenaran di antara keduanya. Penulis mengamati, untuk perkembangannya di Indonesia keduanya membawa pengaruh yang sangat besar, khususnya karena Indonesia adalah rechtstaat. Sebagaimana yang kita ketahui, sampai saat ini pemahaman hukum secara dogmatis masih tetap dipertahankan dalam kerangka hokum nasional. Legislatif pun masih memegang tanggungjawab sebagai legal drafter­ yang bertanggung jawab dalam pembuatan hokum. Walaupun diketahui, mekanisme politik menjadi kendaraan para legal drafter kita untuk mendapatkan jabatan politiknya tersebut. Menurut Nonet, hokum yang demikian dapat dikatakan mengarah kepada hokum represif, yang dikhawatirkan akan menjunjung tinggi status quo dan digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan,[17] sebagaimana yang pernah kita alami pada masa Orde Baru.

Pertanyaannya, apakah pemahaman hokum secara normative masih kita butuhkan dalam kehidupan bernegara? Jawabannya, mungkin sampai saat ini dianggap masih cukup relevan, terbukti dengan masih tetap dipertahankannya Analytical Jurisprudence dalam memandang hokum di Indonesia.

Apabila diamati, pemahaman hokum secara dogmatis, tidak berjalan sendirian menerapkan efek jera dalam mewujudkan suatu ketertiban. Terbukti, bahwa dalam sumber hokum kita, kebiasaan masih tetap dipertahankan sebagai salah satu sumber hokum, walaupun kedudukannya tidak sekuat undang-undang (di bawah undang-undang). Selama kebiasaan yang bersangkutan tidak bertentang dengan undang-undang, maka masih dapat dipergunakan sebagai sumber hokum.

Bagaimana dengan Sociological Jurisprudence di Indonesia? Ya, kita juga menggunakan pemahaman tersebut dalam melihat hokum. Masyarakat kita yang multicultural memberikan karakteristik dalam aturan di masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa masih banyak aturan adat dan kebiasaan (custom) yang dalam keseharian masih dipakai untuk mengatur masyarakatnya. Sebagai contoh, Kampung Samin di Blora masih tetap memegang teguh adat kebiasaan mereka, yang meyakini bahwa “kalau kita tidak mencuri, pasti tidak akan kecurian”. “Kalau tidak menyakiti orang lain, maka pasti tidak akan disakiti orang lain”. Kalau percaya pada orang lain, maka orang lain pasti percaya pada kita”. Kalau baik dan menganggap orang lain keluarga, maka pasti akan diperlakukan dengan baik dan dianggap keluarga”. Oleh karena itu, undang-undang menjadi sesuatu “alergi” bagi mereka, karena di kampong ini, tanpa undang-undang semuanya berjalan dengan baik dan tanpa kejahatan. Keberadaan polisi hanya dianggap sebagai formalitas yang tidak perlu bekerja apapun.

Sanksi social, masih dianggap sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dan memalukan dibandingkan dinginnya tembok Lapas. Kita lihat, Soemanto si Kanibal Indonesia, ketika hampir menyelesaikan masa tahanannya, keluarga dan masyarakat kampungnya di Purbalingga sudah mengecam dan tidak menerima kehadirannya di kampong halaman tercinta. Ini adalah sebuah bukti, bahwa dengan selesainya masa hukuman seseorang di Lapas, tidak menjamin diterima kembali di masyarakat. Secara preventif, bagi mayoritas masyarakat Indonesia sanksi social masih lebih menakutkan daripada sanksi normative.

Selain itu, kita masih sering mendengar banyaknya istilah ra ilok atau pamali mendominasi dalam setiap tata perilaku di masyarakat. Apabila kita tanya pada mereka, apa pasalnya sehingga mereka tidak melakukan kejahatan tersebut? Sebagian besar masyarakat yang awam hokum, pasti lebih memilih menggunakan argumentasi ora ilok, pamali, kata orang tua dulu atau takut karma. Ini masih diyakini membawa efektivitas dalam hokum.

Akan tetapi, permasalahan lainnya muncul, bagaimana dengan nilai-nilai masyarakat yang sudah terkikis oleh perkembangan zaman dan budaya permissif, sehingga standar/ukuran untuk mengatakan sesuatu boleh/tidak boleh, baik/tidak baik, benar/tidak benar menjadi sangat kabur dan menjadi tidak jelas. Ini menjadi problem besar bagi pemahaman hokum secara sosiologis. Berarti, menjadi kewajiban kita semua untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan agar tetap menjadi pilar penopang perilaku masyarakat sebagaimana yang diharapkan.



[1] Hukum alam yang dikritisi oleh gerakan Positivisme adalah hukum alam sebagai substansi, yang di dalamnya berisi norma-norma. Dalam anggapan hukum alam, yang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut yang lazim dikenal dengan hak-hak asasi manusia. Hukum alam menyatakan suatu idealisme moral. Hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan akal. (Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 260)

[2] C.K. Allen, Law in the Making, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 2.

[3] R.W.M. Dias, Jurisprudence, (London: Butterworths, 1979), hlm. 451.

[4] Wolfgang Friedman, Legal Theory, (London: Stevens and Sons, 1953), hlm. 113.

[5] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 276.

[6] Tipe hukum otonom adalah salah satu tipe hukum yang disampaikan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick yang memiliki karakteristik, hukum dipisahkan dari politik, di mana tatanan hukumnya mendukung “model aturan” dan prosedur pengadilan adalah inti dari hukum karena kesetiaan pada hukum adalah kepatuhan yang ketat pada aturan hukum positif. Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society and Transition, (New York: Harper Colophon Books, 1978), hlm. 48.

[7] R.W.M. Dias, Op.Cit., hlm. 518.

[8]Ibid.

[9] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 283.

[10] Alan Hunt, The Sociological Movementin Law, (London: Billing and Sons, 1978), hlm.61.

[11] Ibid., hlm. 91.

[12] R.W.M. Dias, Op.Cit., hlm. 596.

[13] Ibid.

[14] H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm. 50-51.

[15] Donald Black, Sociological Justice, (New York : Oxford University Press, 1989), hlm., 22.

[16] H.R. Otje Salman danAnton F. Susanto, Op.Cit., hlm. 60-62.

[17] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.Cit., hlm. 25.