Sunday, November 7, 2010

Filsafat Moral Hukum Alam Dalam Hukum Progresif


EKSISTENSI TRANSENDENSI MORAL HUKUM ALAM DALAM

HUKUM PROGRESIF

Oleh: Novita Dewi Masyithoh

ABSTRAK

Moral adalah satu kata yang seringkali dianggap sepele bahkan tidak punya nilai dan makna yang berarti dalam kancah struktur hukum di Indonesia. Pembuat hukum sampai dengan penegak hukum adalah hamba hukum yang perjuangannya membela kebenaran dan keadilan, namun pada kenyataannya seringkali di tangan merekalah hukum menjadi berwarna dan ketika sampai ke masyarakat ditanggapi secara berbeda. Hukum bukanlah sebuah buku yang hanya berisikan tulisan tanpa makna, bahkan penegakan hukum tidak hanya membutuhkan rule of law saja , tetapi lebih kepada rule of man, karena hukum dibuat oleh manusia, ditegakkan oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karenannya moral menjadi sangat penting karena menjadi dasar rule of man. Hukum progresif adalah pencerahan pemikiran dan merupakan koreksi terhadap sisi negative dari hukum modern yang sangat terstruktural, tersistematis dan birokratis. Dimensi moral menjadi sangat penting dalam hukum progresif yang dapat mengarahkan hukum sebagai suatu institusi yang bertujuan mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.

(Kata Kunci: moral, hukum alam, hukum progresif)

I. PENDAHULUAN

Berangkat dari rasa keprihatinan terhadap pandangan masyarakat tentang hukum yang seringkali dicerca, diremehkan bahkan dihujat, karena penilaian masyarakat terhadap hukum justru berasal dari tangan-tangan pembuat dan penegak hukum yang melaksanakan law enforcement. Banyak anggapan masyarakat yang menilai hukum merupakan produk kekuasaan yang melegitimasi kekuasannya, banyak undang-undang pesanan, hukum membela yang bayar, hukum bisa dibeli, dan masih banyak lagi.

Hukum modern merupakan hukum yang penuh dengan formalism, terstruktur, organis, sistematis, dan penuh dengan birokrasi, sehingga hal-hal di luar itu menjadi tidak penting. Akar dari hukum, basis dari hukum, yaitu masyarakat tidak lagi menjadi bahan utama pembuatan hukum, karena kepentingan lebih mendominasi. Dogmatisasi dan positivisme hukum adalah yang paling utama dan mempunyai kekuatan sentral dalam mengatur masyarakat. Itulah sebabnya, kelanggengan dan akumulasi positivism tidak dapat terganggu gugat. Namun, pada realitas masyarakat yang terus menerus mengalami pergerakan dan perkembangan, tuntutan akan aturan yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat menjadi batu sandungan bagi eksistensi positivisme, sampai akhirnya terjadi anomalies, karena banyak permasalahan-permasalahan di masyarakat yang tidak mampu dijawab dan diselesaikan dengan formalism hukum modern yang ada saat ini. Hukum modern yang ada justru menjadi boomerang bagi kelangsungan hidup bermasyarakat dan bernegara karena semakin lama masyarakat justru resisten terhadap hukum sendiri.

Satjipto Rahardjo, Begawan Ilmu Hukum menawarkan suatu revolusi paradigma dalam memandang hukum dan memberikan pencerahan bagi dunia keilmuan hukum untuk melihat hukum sebagai sebuah proses yang tidak final dan tidak akan ada akhirnya, selama ilmu dipelajari dan hukum dibutuhkan oleh mengatur masyarakat. Sebuah teori hukum baru yang pro rakyat, pro keadilan dan kebenaran dan lebih dari itu hukum untuk memanusiakan manusia. Hukum progresif, memberikan ruang yang luas bagi pemahaman hukum, karena meletakkan hukum pada basisnya, yaitu masyarakat dan meletakkan ilmu hukum pada filsafat ilmunya untuk memberikan kebijaksanaan, kemaslahatan dan pencerahan, agar tidak terbelenggu pada doktrinasi, dogmatisasi, dan positivism.

Dalam makalah ini, penulis berusaha merekonstruksi kembali pemahaman moral yang bersifat transenden dan menjadi satu kesatuan kodrati dengan manusia yang dijadikan salah satu landasan/dasar dalam memahami hukum progresif.

II. HUKUM DAN KEKUASAAN

Menurut Chambliss dan Seidman terdapat hubungan antara hukum dan kekuasaan, di mana kekuatan social[2] dan pribadi yang terdapat di masyarakat keberadaannya menekan lembaga pembuat hukum secara langsung sebagai lembaga yang membuat hukum dan secara tidak langsung menekan lembaga penegak hukum, sedangkan lembaga penegak hukum juga mengalami tekanan secara langsung dari kekuatan social dan pribadi. Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum yang bekerja untuk melakukan law enforcement untuk ditegakkan di masyarakat. Masyarakat adalah tujuan akhir dari bekerjanya hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum yang dibuat oleh pembuat hukum yang sudah mengalami tekanan dari kekuatan social dan pribadi di tegakkan oleh penegak hukum yang juga mengalami tekanan dari kekuatan social dan pribadi ke masyarakat, sehingga hukum yang sampai ke masyarakat adalah hukum yang bercorak kekuasaan.

Realitas ini semakin nyata ketika hukum positif menjadi satu-satunya sandaran dalam hukum modern. Kenyataan ini juga berbanding lurus dengan teori Sibernetika[3] yang disampaikan oleh Talcott Parson, bahwa di dalam masyarakat terdapat sub-sub system, yang terdiri dari sub system budaya dengan fungsi primernya mempertahankan pola, sub system social dengan fungsi primernya integrasi, sub system politik dengan fungsi primernya mengejar tujuan dan sub system ekonomi dengan fungsi primernya adaptasi. Sub-sub system dalam masyarakat tersebut berlangsung melalui proses arus informasi dan arus energy. Arus energy yang terkuat adalah sub system ekonomi mengarah ke sub system politik, social dan arus energy terlemah adalah sub system budaya. Sebaliknya, arus informasi terkuat adalah sub system budaya, mengarah ke sub system social, politik dan arus informasi terlemah adalah sub system ekonomi. Di mana letak hukum? Hukum terletak di antara sub system budaya dan social, karena hukum pada dasarnya membentuk pola di dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum memiliki arus energy yang sangat lemah di bandingkan politik dan ekonomi. Itulah sebabnya, mengapa hukum apabila dihadapkan dengan politik dan ekonomi selalu kalah dan mudah dipengaruhi, karena arus energinya lemah. Kekuatan hukum terletak pada pembentukan pola pikir dan pola perilaku di masyarakat sebagaimana yang dikehendaki.[4]

Berdasarkan kedua teori ini, kekuasan sangat berpotensi untuk mengintervensi hukum, baik dalam proses legislasi maupun law enforcement. Proses legislasi digawangi oleh para pembuat hukum, demikian juga dalam proses penegakan hukum, yang terdiri dari hamba hukum yang secera teoritis sangat memahami tugas dan pekerjaannya. Kemungkinan terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan sangat besar, karena hukum tidak memiliki arus energy yang kuat dan dapat ditekan oleh kekuatan social dan pribadi. Oleh karena itulah, prinsip-prinsip rule of man sangat penting sebagai fondasi pembuatan dan penegakan hukum.

III. TRANSENDENSI MORAL HUKUM ALAM

Hukum alam menyatakan suatu idealisme moral. Hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan akal. Dalam anggapan hukum alam, yang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut yang lazim dikenal dengan hak-hak asasi manusia.[5] Hukum alam dibagi menjadi dua, yaitu hukum alam irasional dan hukum alam rasional. Hukum alam irasional menyatakan bahwa hukum yang berlaku secara universal dan abadi itu sumbernya berasal dari Tuhan secara langsung.[6] Sedangkan hukum alam rasional menyatakan bahwa sumber hukum yang universal dan abadi adalah rasio/akal manusia.[7] Pandangan ini muncul setelah Renaessance (masa di mana rasio manusia dipandang lepas dari tertib ketuhanan) menyatakan bahwa hukum alam muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang penilaiannya terletak pada kesusilaan (moral) alam.[8]

Thomas Aquinas dikategorikan sebagai pengikut hukum alam irasional, walaupun dalam tesisnya menyatakan bahwa ia mengakui adanya kebenaran wahyu juga kebenaran akal. Tesisnya ini didasakan pada kenyataan bahwa terdapat beberapa pengetahuan manusia yang diperoleh oleh akal namun tidak dapat ditembus oleh akal (keterbatasan akal yang dimiliki oleh manusia).[9] Pemikiran Thomas Aquinas tentang hukum adalah :

Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta diatur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum TUhan berada di atas segala-galanya. Namun demikian, tidak semua hukum Tuhan dapat diperoleh manusia. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang dilengkapi oleh akal, sehingga manusia dapat membedakan yang baik dan buruk.[10]

Pernyataan Thomas Aquinas tentang hukum alam meletakkan moral sebagai satu kesatuan kodrati yang dimiliki manusia karena kelebihan akal yang diberikan oleh Tuhan untuk mengerti dan memahami tentang hukum Tuhan, walaupun ada keterbatasan akal manusia untuk mengerti dan memahami hukum Tuhan.

Berbeda dengan Thomas Aquinas, Hugo de Groot (Grotius) menyatakan bahwa sumber hukum adalah rasio manusia, karena manusia diciptakan berbeda dengan makhluk yang lain karena akal yang dimilikinya. Hukum alam ini hadir sesuai dengan kodrat manusia yang tidak dapat diganggu gugat.[11] Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Samuel von Pufendorf dan Christian Thomasius, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni, sehingga unsur naluriah manusia yang lebih berperan.[12]

Imanuel Kant, menyatakan tentang konsep moral, bahwa persoalan moral harus sama sekali lepas dan tidak ada hubungannya dengan lingkungan, kebiasaan dan segala hal yang bersifat empiric. Moral adalah hal yang sangat mutlak dan didasarkan oleh nilai-nilai yang mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat.[13] Kebangkitan hukum alam pun juga menyatakan hal yang sama, walaupun terdapat perbedaan. Hukum alam yang sebelumnya menganut absolutism dari hukum Tuhan, sedangkan kebangkitan hukum alam menganut relativitas, namun keduanya didasari oleh keinginan untuk menyatakan suatu idealism moral.[14]

Kedudukan moral di dalam hukum kembali hadir pada masa Postmodernisme (postpositivisme)[15] yang kehadirannya jauh dari hukum alam sebagai reaksi dari analytical jurisprudence. Postpositivisme menekankan keterkaitan antara wilayah empirik dan moral dan telah melahirkan pandangan bahwa hukum tidak dimaknai sebagai realitas sosial yang empirik an sich, tetapi hukum juga dimaknai sebagai realitas metafisik yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Berdasarkan pemahaman ini, hukum dimaknai tidak saja sebagai fenomena social tetapi juga fenomena rohani.[16] Para teolog dan filsuf pada masa itu telah mencurahkan pemikiran transcendental untuk mengesahkan dan menunjukkan tentang kebenaran moral dan menyatakan bahwa hukum alam terdiri dari prinsip-prinsip moral yang sangat kebal terhadap keragu-raguan, karena merupakan kehendak Tuhan.[17]

Moral sebagai bentuk manifestasi akal yang diberikan oleh Tuhan berbeda dengan kedudukan akal/rasio dalam aliran positivism, karena positivism memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Reine Rechtslehre dari Hans Kelsen menyatakan bahwa, hukum adalah susunan logis dari peraturan-peraturan yang berlaku pada satu tempat tertentu dan ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan tentang peraturan-peraturan itu. Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat.[18] Fokus perhatian hukum semata-mata pada bentuk, bukan pada isi, sehingga hukum tetaplah sah walaupun tidak adil dan tidak megandung nilai-nilai moralitas. Tokoh-tokoh teoretisi positivisme lain, seperti John Austin dan H.L.A.Hart, mereka menjadikan tugas ilmiahnya sebagai pemberi legitimasi terhadap hukum positif, dan mencoba membangun suatu teori mendasar, dimulai dari hakikat peraturan hukum dan membedakan serta memisahkannya dengan moral, etika, kesusilaan, agama maupun norma-norma kehidupan lain.[19]

Sejak adanya dominasi positivisme, dan seiring dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat pada era modern yang ditata dengan hukum positif, maka kehidupan dengan segala aspeknya dipaksa harus rasional. Itulah realitas yang dipandang benar. Manakala ilmu hukum berbicara tentang keadilan, maka keadilan pun harus diukur dengan ukuran-ukuran yang rasional pula. Rasio menjadi di atas segala-galanya. Sejak saat itu, ilmu hukum menjadi ilmu yang distinct dan esoterik, baik dalam substansi, metodologi maupun administrasi.[20] Bahkan, Antonio Boggiano menyatakan bahwa kaum positivis hukum berusaha sedapat mungkin menghindari pembahasan tentang hukum dan moral.[21]

Hegemoni aliran positivistime-sekular seakan telah menjadi panggilan sejarah sekaligus bagian dari proses perkembangan ilmu hukum di sebagian besar belahan dunia ini. Hukum modern sebagai bentuk matang dari positivisme, menjadi kehilangan ciri kemanusiaannya yang utuh, ketika akal (ratio) diperankan melampaui batas-batas yang proporsional dengan mengabaikan wilayah-wilayah yang paling substansial, yaitu hati nurani. Sebagaimana dinyatakan oleh Nasr, bahwa hukum modern hanya mampu mengantarkan manusia untuk menemukan setengahnya saja dari dunia dan tidak bisa membantu manusia untuk menemukan The Great Chain Being.[22]

IV. EKSISTENSI TRANSENDENSI MORAL HUKUM ALAM DALAM HUKUM PROGRESIF

Hukum progresif hadir sebagai sebuah pencerahan pemikiran sekaligus sebagai kritik yang tegas atas belenggu positivism yang mengformalisasi hukum modern. Negara-negara modern saat ini meletakkan system hukumnya pada hukum modern[23] yang sangat sarat dengan bentuk-bentuk formal, procedural dan birokratis. Ini mengakibatkan hukum menjadi suatu institusi yang penuh dengan artificial dan esoteric, sehingga hukum hanya bisa dijangkau dan dijamah oleh orang-orang tertentu yang telah menjalani inisiasi dan pendidikan khusus. Hukum semakin menjauh dari masyarakat sebagai basis dan bahan hukum, bahkan hukum merupakan suatu mesin yang sengaja diproduksi untuk memproduksi masyarakat sebagaimana yang diinginkannya. Hukum adalah sebuah tatanan. Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil.[24]

Pemahaman Law as a tool of Social Engineering[25] sudah banyak bergeser, karena rekayasa masyarakat yang dilakukan oleh hukum dengan otoritas positivistiknya dan birokrasinya, sehingga dirasakan sangat represif oleh masyarakat, menyakitkan bahkan membentuk masyarakat yang sakit.

Masyarakat yang sakit dapat kita lihat dari begitu alerginya masyarakat pada aparat penegak hukum, seperti contohnya polisi. Lembaga kepolisian banyak dinilai oleh masyarakat sebagai lembaga yang sangat otonom sehingga kesipilannya tidak dirasakan, sampai-sampai terdapat kata-kata “hukum sengaja dibuat untuk dilanggar”, “berani membela yang bayar”, “hukum dapat dibeli”, dan masih banyak lagi. Mafia hukum, bahkan mafia peradilan adalah hamba-hamba hukum yang secara intelektual dan akademis belajar tentang hukum, namun justru mereka-merekalah yang bermain-main mempermainkan hukum dan basis hukumnya. Ini hal yang sangat memprihatinkan.

Seorang hakim Mahkamah Agung yang bernama Bismar Siregar menyatakan bahwa keadilan harus berada di atas hukum dan undang-undang. Ini senada dengan Taverne, yang menyatakan bahwa “berikan pada saya jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”.[26]

Pendidikan hukum yang mencetak sarjana-sarjana dan ilmuwan hukum lebih menekankan pembelajaran rule of law untuk mencetak tukang-tukang hukum yang mumpuni dan mempunyai kemampuan artificial dan esoteric dalam pembuatan maupun penegakan hukum. Hukum dibuat sedemikian rupa, seartifisial mungkin sehingga hukum berkarakter das sollen yang dalam prakteknya menjauh dari masyarakat. Sisi lain dari kemampuan berhukum tidak lagi penting, seperti pembentukan rule of man. Padahal, hukum dibuat oleh manusia, ditegakkan oleh manusia dan ditujukan untuk manusia. Berarti manusia adalah tokoh sentral dalam berhukum. Hukum tidak dibutuhkan kalau tidak ada manusia dan masyarakat. Karl Renner menyatakan bahwa “the development of the law gradually works out what is socially reasonable”.[27]

Gerry Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, “sejak mahasiswa memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan direnggut.” Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.[28] Diperlukan perpaduan yang saling menyapa antara berbagai perspektif dalam memahami pemikiran hukum yang berkembang saat ini baik doctrinal maupun yang non doktrinal atau yang melakukan pendekatan analisis normologik, yakni wajah hukum yang beragam: (1) wajah hukum yang sarat dengan asas keadilan, (2) wajah hukum hukum yang sarat dengan norma yang dipositifkan melalui peraturan perundangundangan dan (3) wajah hukum yang judgemande atau yang tampil dalam putusanpurusan hakim, Tipologi wajah hukum yang demikian itu selalu eksis sebagai bagian dari suatu sistem doktrin atau ajaran, yakni ajaran tentang bagaimana hukum harus diketemukan atau diciptakan untuk menyelesaikan perkara atau problem solving baik dari dimensi kenegaraan maupun dimensi kemasyarakatan, sebaliknya dengan yang melakukan analisis nomologik, yakni logika hukum yang berlandaskan pada nomos (realitas sosial). Konsep hukum yang demikian itu jelas tidak akan menampilkan wajah hukum yang normatif (rules), melainkan sebagai regularities (pola-pola perilaku) yang terjadi dialam pengalaman dan atau sebagaimana yang tersimak di dalam kehidupan sehari-hari (sine ira et studio).[29]

Oleh karena itulah, Satjipto Rahardjo mengarahkan pencitraan fakultas hukum sebagai tempat menimba ilmu yang sangat teknologis diubah menjadi fakultas hukum yang berhati nurani, dengan mengajarkan compassion, commitment¸ dan emphathy.[30] Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam kerangka hukum progresif adalah dengan mengubah kultur pembuatan dan penegakan hukum agar terbentuk kultur hukum yang baik di masyarakat. Penegakan hukum diarahkan pada penegakan hukum yang bersifat kolektif. Kolektif yang dimaksud bukan menjadi sarang bagi komponen penegak hukum untuk membuat kompromi-kompromi politis, tetapi untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum pada sesuatu yang jauh lebih besar kepentingannya, yaitu kepentingan mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).[31] Oleh karena itu diperlukan recruitment fungsionaris hukum yang lebih mengutamakan predisposisi spiritual, disamping kemampuan akademis dan menerapkan prinsip reward and punishment sebagai spirit bagi mereka untuk terus berprestasin sekaligus sebagai ancaman yang menyakitkan bagi yang tidak memiliki komitment keadilan dan kebenaran.[32]

Hukum progresif lebih mengutamakan factor manusia daripada hukumnya, sehingga factor perilaku menjadi sesuatu yang paling penting di atas factor peraturan dalam berhukum. Oleh karena itulah, hukum progresif di antaranya bernafaskan teori-teori hukum alam, karena letak kepedualiannya terhadap hal-hal yang bersifat meta-juridical dan lebih mengutamakan the search for justice.[33] Meta-Juridical yang disampaikan dalam hukum alam adalah mutatis mutandis yang ada dalam dunia hukum. Kemampuan IQ (Intellectual Quotient) diperlukan untuk mewakili hukum analitis dengan bantuan logika. Namun, dibutuhkan kemampuan lain, yaitu EQ (Emotional Quotient), yaitu kemampuan berpikir dengan hati nurani dan badan. Terakhir, diperlukan SQ (Spiritual Quotient), yaitu kesempurnaan intelegensi dengan memanfaatkan semua kemampuan, yaitu akal, hati nurani dan spiritual. Keseluruhan ini ada pada setiap manusia sebagai kesatuan kodrati yang diberikan oleh Tuhan.

V. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum alam yang jauh lebih dulu dibandingkan hukum progresif, bahkan banyak menuai kritik dari positivism dan teori hukum murni, justru memberikan pencerahan ketika hukum berevolusi mengarah ke hukum modern. Hukum alam dengan konsep-konsep pemikiran para filsufnya kembali mengemuka dan menjadi rujukan penting ketika positivisme mengalami anomalies dan tidak mampu memberikan keadilan serta menjawab permasalahan-permasalahan hukum yang ada di masyarakat.

Konsep moral yang bersifat meta-juridis dalam hukum alam menginspirasi hukum progresif untuk menempatkan hukum sebagai pemberi keadilan dan bekerja untuk manusia. Ini disebabkan hukum dibuat oleh manusia, ditegakkan oleh manusia dan ditujukan untuk manusia dan masyarakat. Sehingga hukum harus memiliki hati nurani, undang-undang yang berhati nurani, pengadilan yang berhati nurani dan pembuat serta penegak hukum yang berhati nurani. Rule of man adalah inti dari hukum, karena perilaku diletakkan di atas peraturan dan moral diletakkan di atas hukum. Sedangkan manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan ideen haft yang membedakannya dengan makhluk material lainnya, karena memiliki softwere akal, budi dan hati nurani, sehingga manusia menjadi satu kesatuan kodrati dengan moral. Moralitas itu secara kodrati melekat pada manusia dan oleh karenannya hukum bisa lebih bermoral dan berhati nurani.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Ali , Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Arizona, Yance, bekerjasama dengan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), http://yancearizona.wordpress.com/ 2007/12/30/hukum-progresif-yang-mengalir/

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Douzinas, Costaz. et. al., 1991, Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in The Texts of Law Routledge : London.

Friedman, L.M., 1990, American Law, New York: WW Norton&Co.

F. Susanto, Anton, 2007, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif Transgresif, Bandung: Refika Aditama.

Ghazali, Implementasi Moral ke Dalam Sistem Hukum, www.badilag.net

Nasr, Seyyed Hossein, 1976, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, George Allen &Unwin Ltd, London,

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti.

______________, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

______________, 2009, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta; Genta Publishing.

Renner, Karl, 1969, The Development of Capitalist Property and The Legal Institutions Complementary to The Property Norm, dalam “Sociology of Law”, Vilhelm Aubert (ed)., Harmondsworth: Penguin Books.

Roestandi, Achmad, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Bandung: Armico.

Suseno, Frans Magnis, 1997, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius.

Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam Pradigma “Thawaf” (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Hukum Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory yang meng-Indonesia, http://eprints.undip.ac.id/3222/2/Paradigma_Hukum_Progresif_Prof_Satjipto_Rahardjo.pdf.

Wignyosoebroto, Soetandyo, 2001,"Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.


[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006), hlm.20

[2]Kekuatan social terdiri dari empat kekuatan, yaitu kekuatan uang, kekuatan politik, kekuatan massa dan kekuatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 33.

[3] Konsep sibernetik ini pertama kalidi sampaikan oleh Norbert Wiener pada tahun 1947 untuk memberikan nama pada proses control otomatis. Berasal dari kata Yunani kybernetike, yang berarti seni keahlian untuk mengarahkan. Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 136.

[4] Ibid., hlm. 137.

[5] Ibid., hlm. 260.

[6] Aliran hukum alam irasional ini diikuti oleh beberapa filsuf, yaitu Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante Alighieri, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe dan Johannes Huss.

[7] Aliran hukum alam rasional didukung oleh Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Imanuel Kant dan Samuel von Pufendorf.

[8] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 104.

[9] Ibid., hlm. 105.

[10] L.M. Friedman, American Law, (New York: WW Norton&Co, 1990), hlm. 62.

[11] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op.Cit., hlm. 110-111.

[12] Ibid., hlm. 111-112.

[13] Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 126.

[14] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 262.

[15] Postpositisme lahir pada tahun 1970-1980an sebagai kritik terhadap positivism logis. Secara ontologism, aliran ini bersifat critical realism, yang memandang bahwa realitas senyatanya sesuai dengan hukum alam.Pemikiran aliran ini banyak dipengaruhi oleh Neil Bohr, Werner Heisenberg dan Einstein. Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), hlm. 54-55.

[16] Costaz Douzinas. et. al., Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in The Texts of Law (Routledge : London, 1991), h. 28.

[17] Anton F. Susanto, Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif Transgresif, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 69.

[18] Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum, Armico-Bandung, 1992. hlm 80

[19] Ghazali, Implementasi Moral ke Dalam Sistem Hukum, www.badilag.net

[20] Ibid.

[21] Anton F. Susanto, Op.Cit., hlm. 68.

[22] Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, George Allen &Unwin Ltd, London 1976.

[23] Karakteristik hukum modern adalah : 1. Mempunyai bentuk tertulis, 2. Hukum berlaku untuk seluruh wilayah Negara dan 3. Hukum merupakan instrument yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 214.

[24] Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo dalam Pradigma “Thawaf” (Sebuah Kontemplasi Bagaimana Mewujudkan Hukum Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory yang meng-Indonesia, http://eprints.undip.ac.id/3222/2/Paradigma_Hukum_Progresif_Prof_Satjipto_Rahardjo.pdf.

[25] Law as a Tool of Socialisa me Engineering adalah teori yang dikemukakan oleh Roscou Pound, yang menyatakan bahwa hukum adalah sarana/alat yang dapat digunakan untuk melakukan rekayasa social. Social Engineering bersifat sistematis, yang diawali dengan mengidentifikasi permasalahan yang secara riil ada di masyarakat, memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, membuat hipotesa-hipotesa dan mengutamakan hal-hal penting untuk lebih didahulukan untuk dicari penyelesaian permasalahannya dan mengiringi terus menerus jalannya penerapan hukum serta senantiasa mengukur efektivitas dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Ibid., hlm. 208.

[26] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta; Genta Publishing, 2009), hlm. 10.

[27] Kar Renner, The Development of Capitalist Property and The Legal Institutions Complementary to The Property Norm, dalam “Sociology of Law”, Vilhelm Aubert (ed)., (Harmondsworth: Penguin Books, 1969), hlm. 33.

[28] Yance Arizona bekerjasama dengan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), http://yancearizona.wordpress.com/2007/12/30/hukum-progresif-yang-mengalir/

[29] Soetandyo Wignyosoebroto, "Materi Tutorial Mata Kuliah Penulisan Disertasi untuk Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, halaman 11-15.

[30] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 25.

[31] Ibid.

[32] Ibid., 25-26.

[33] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 93.

Wednesday, October 20, 2010

SOAL UJIAN MID SEMESTER
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KONSENTRASI ILMU FALAK (KIFB3)


Silahkan pilihnsalah satu kasus di bawah ini dan dianalisis menggunakan teori2 kewarganegaraan yang sudah dipelajari
1. Mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi di Makassar bentrok dengan polisi pada saat melakukan demonstrasi. Mahasiswa melempari aparat polisi menggunakan batu dan senjata tajam karena ada beberapa temannya yang ditahan polisi karena dianggap sebagai provokator. Polisi pun juga menggunakan kekerasan dengan menyemprotkan gas air mata dan menembakkan peluru karet untuk menghalau para mahasiswa.
2. Beberapa warga negara Indonesia turut serta mendaftar sebagai sukarelawan di Palestina untuk berjihad melawan Israel dan turut menyampaikan bantuan obat-obatan dan pangan ke Palestina, namun kapal para relawan dihadang oleh militer Israel, bahkan para relawan ditembaki sehingga banyak jatuh korban, termasuk di dalamnya warga negara Indonesia
3. Di Indonesia muncul banyaknya aliran sesat, di antaranya Kerajaan Tuhan Lia Eden, Ahmadiyah, dan lain sebagainya. keberadan mereka banyak ditentang masyarakat dan mengusik. Di antara aliran sesat tersebut sudah ada yang divonis hukuman oleh hakim, namun keberadaan mereka tidak juga surut.

Monday, October 18, 2010


SOAL MID SEMESTER
MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM


Ada seorang isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, akibat dibakar oleh suaminya sendiri. Dia mengadukan hal ini ke Lembaga Bantua Hukum karena dia orang miskin dan tidak bisa membiayai perkaranya. Lembaga Bantuan Hukum ini berisi para advokat yang sudah senior dan tinggi jam terbangnya dalam beracara di pengadilan, bahkan dalam setiap kasus yang datang banyak diperebutkan oleh para advokat. Sudah satu tahun, masalah ini belum diproses sampai akhirnya dia meminta kejelasan atas permasalahannya dan hanya dijanjikan utk bersabar.
Kasus di atas dapat dianalisis menggunakan sosiologi hukum apa? silahkan pilih dan gunakan teori yang ada!



SOAL MID SEMESTER
MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM


Ada seorang isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, akibat dibakar oleh suaminya sendiri. Dia mengadukan hal ini ke Lembaga Bantua Hukum karena dia orang miskin dan tidak bisa membiayai perkaranya. Lembaga Bantuan Hukum ini berisi para advokat yang sudah senior dan tinggi jam terbangnya dalam beracara di pengadilan, bahkan dalam setiap kasus yang datang banyak diperebutkan oleh para advokat. Sudah satu tahun, masalah ini belum diproses sampai akhirnya dia meminta kejelasan atas permasalahannya dan hanya dijanjikan utk bersabar.
Kasus di atas dapat dianalisis menggunakan sosiologi hukum apa? silahkan pilih dan gunakan teori yang ada!





Saturday, June 5, 2010

Materi Ujian (kisi-kisi) PIH


Blog ini menyediakan materi ujian (kisi-kisi) untuk mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Ini adalah materi Ujian Akhir Semester Tahun Akademik 2009/2010 yang dapat diakses mahasiswa secara terbuka dan menjadi bahan panduan dalam menempuh Ujian Akhir Semester Genap ini. Makalah individu yang telah dikirimkan melalui email maupun tugas kelompok menjadi bagian dari materi ujian.

1. Mengapa hukum dibutuhkan masyarakat (nilai, norma dan hukum, basis hukum yi masyarakat, definisi, hubungan nilai, norma dan hukum, eksistensinya dalam mengatur masyarakat)
2. Pengertian hukum (secara normatif, sosiologis dan filosofis, hubungan ketiga pengertian hukum, kelebihan dan kelemahan masing-masing pengertian, efektifitasnya)
3. Hubungan das sein, das sollen dan hukum dalam law as a tool of social engineering (pengertian, hubungan input dan output, spannungsverhaltnis/ketegangan di antara ketiganya, menerapkan dalam contoh kasus hukum)
4. Hubungan hukum dan kekuasaan (pengertian, kekuatan pribadi dan sosial, macam-macam kekuatan sosial dan pengaruhnya bagi hukum, hubungannya menurut Chambliss dan Seidman)
5. Sumber hukum (pengertian, sumber hukum formil dan materiil, kedudukan sumber hukum secara urut dan definisinya, sumber hukum yang berlaku di Indonesia, perbedaan yurisprudensi dan preseden)
6. Pembidangan hukum (definisi, hukum privat/hukum publik, hukum tertulis/tidak tertulis, hukum substantif/hukum prosedural, hukum domestik/hukum internasional, menerapkan dalam contoh)
7. Pembagian hukum menurut Pilippe Nonet dan Philip Selznick (pengertian hukum represif, otonom, dan responsif, kelebihan dan kelemahan, karakteristik, menerapkan dalam contoh)
8. Proses hukum (definisi, pengurutan proses mulai dari penentuan bahan hukum, pembuatan hukum sampai dengan penegakan hukum)
9. Sistem hukum (definisi civil law system dan common law system, karakteristik, kelebihan dan kelemahannya, sistem hukum yang berlakudi Indonesia)
10. Teori hukum (definisi, mengurutkan teori hukum mulai dari hukum alam, positivisme, kebangkitan hukum alam, hukum murni, aliran sejarah dan antropologis, sociological jurisprudence, realisme, critical legal studies, sampai dengan hukum progresif, membedakan masing-masing teori hukum, karakteristik, kelebihan dan kelemahannya)


Materi Ujian (kisi-kisi) PTHI


Mahasiswa dapat mengakses materi-materi yang akan diujikan pada semester Genap Tahun Akademik 2009/2010. Ini dijadikan bahan acuan/panduan mahasiswa dalam menempuh Ujian Akhir Semester. Makalah yang menjadi tugas kelompok dan sudah dipresentasikan oleh masing-masing kelompok menjadi bagian dari materi yang diujikan, jadi setiap mahasiswa diharapkan memiliki hard copy dari setiap makalah.

1. Pembahasan mengenai hubungan nilai, norma dan hukum (definisi, persamaan dan perbedaan, eksistensinya dalam mengatur masyarakat)
2. Pembahasan mengenai pengertian hukum (normatif, sosiologis dan filosofis, kelebihan dan kelemhannya, hubungan di antara ketiga definisi)
3. Pembahasan mengenai hubungan das sein, das sollen dan hukum dalam social engineering by law/law as a tool of social engineering (pengertian, terapkan dalam contoh kasus)
4. Pembahasan tentang sumber hukum (pengertian sumber hukum formil dan materiil, macam-macam sumber hukum, kedudukan sumber hukum, sumber hukum dan tata urutan perundangan yang berlaku di Indonesia)
5. Pembahasan tentang Hukum Pidana (membedah makalah)
6. Pembahasan tentang Hukum Perdata (membedah makalah)
7. Pembahasan tentang Hukum Acara Perdata (membedah makalah)
8. Pembahasan tentang Hukum Acara Pidana (membedah makalah)
9. Pembahasan tentang Hukum Administrasi Negara (membedah makalah)
10. Pembahasan tentang Hukum Tata Negara (membedah makalah)
11.Pembahasan tentang Hukum Agraria (membedah makalah)
12. Pembahasan tentang Hukum Ketenagakerjaan (membedah makalah)
13. Pembahasan tentang Hukum Internasional (membedah makalah)
14.Pembahasan tentang Hukum Adat (membedah makalah)
15. Pembahasan tentang Hukum Dagang (membedah makalah)

Tuesday, May 11, 2010

Cyberporn: Tinjauan Sosiologi Hukum


FENOMENA CYBERPORN
DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM
Oleh : Novita Dewi Masyithoh, SH., MH.


Abstrak

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat diimbangi dengan perkembangan teknologi yang telah melintasi batas negara-negara di dunia merupakan suatu pencapaian dan pemutakhiran dalam globalisasi keilmuan. Sebagaimana diketahui, bahwa kemampuan manusia dengan akal dan budi yang dimiliki mampu menggenggam dunia ini dengan segala isinya dalam satu genggaman rapat, yang di satu sisi dengan genggamannya mampu mengupayakan pemanfaatan ilmu dan teknologi untuk tujuan kemaslahatan dan di sisi lain dengan genggamannya mampu meremukredamkan peradaban yang telah dimiliki manusia ribuan tahun lamanya.
Internet adalah salah satu bukti perkembangan ilmu dan teknologi yang telah mampu dibuktikan dengan menjamurnya teknologi ini di seluruh dunia. Teknologi informasi dan komputer ini telah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai teknologi yang berbasis mayantara, sehingga mampu diakses secara transnasional melintasi batas suatu negara, sehingga dapat mempermudah arus informasi dan komunikasi yang dapat melahirkan keuntungan-keuntungan dengan meminimalisir pengorbanan. Banyak orang memanfaatkan teknologi ini untuk kepentingan-kepentingan bisnis publik (e-commerce), bahkan pemanfaatannya sudah mencapai kebutuhan privat dan menimbulkan ketergantungan teknologi tersendiri bagi pemakainya.
Kenyataan ini membawa implikasi yang lebih jauh dan serius, karena akan semakin marak bermunculan modus-modus baru dalam bertransaksi dan berkomunikasi. Cyberporn, atau yang biasa dikenal dengan cybersex/orgasmaya adalah salah satunya. Pornografi di internet tidak dapat dihindari karena arus informasi dan komunikasi menggiring manusia pada suatu ruang atau dunia baru yang merupakan suatu alternatif pemuasan kebutuhan yang biasa disebut dengan cyberspace.

(Keywords: cyberporn, cyberspace, pornografi, kebijakan penal, kebijakan non penal, sosiologi hokum, hokum)


I. PENDAHULUAN
Keberadaan internet semakin pesat dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. Di setiap daerah, terlebih di kota-kota besar, sangat menjamur warung internet (warnet) yang tersebar, tidak hanya di pusat-pusat kota, tetapi juga di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Terlebih saat ini, dengan adanya persaingan pasar sempurna, pebisnis warnet menawarkan harga yang relatif murah dan terjangkau bagi kantong orang dewasa sampai dengan anak-anak. Tidak hanya itu, penawaran modem dan fasilitas pemasangan internet, baik kabel maupun tanpa kabel sudah memasuki segala lini di masyarakat. Setiap jasa telekomunikasi melengkapi teknologinya dengan fasilitas ini. Dengan harga pra bayar maupun pasca bayar yang tidak menguras kantong, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi ini dengan harga yang terjangkau. Di rumah, di sekolah, di tempat-tempat umum dapat menggunakan teknologi ini, bahkan dengan penawaran pemakaian secara unlimited. Di tempat-tempt publik pun, saat ini sudah banyak yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot area, sehingga tanpa mengeluarkan sepeserpun uang, dapat mengakses teknologi internet dengan mudah.
Kemudahan lain dapat diperoleh dengan fasilitas kemudahan dalam penggunaan internet. Cukup dengan mengetik serangkaian kata melalui search engine (keyword) yang diinginkan, maka akan diperoleh dengan mudah data dan informasi yang disajikan oleh berbagai macam situs. Bahkan seringkali, kesalahan dalam menulis/mengetikkan keyword, dapat memunculkan data, gambar, atau informasi yang tidak diduga, bahkan tidak sedang dicari dan berbau pornografi. Ini karena internet memang menyuguhkan berbagai hal sehubungan dengan kebutuhan informasi dan komunikasi, baik yang bersifat publik mapun privat.
Perkembangan di bidang teknologi informasi yang semakin pesat saat ini merupakan jawaban atas makin komplesknya kebutuhan manusia akan informasi dan komunikasi Jaringan komunikasi dan informasi dunia atau dikenal juga dengan teknologi cyberspace, berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Internet adalah media penyedia informasi dan kegiatan komunitas komersial terbesar dan tumbuh berkembang dengan sangat pesat.
Cyberspace menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternatif. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual cafĂ©, virtual architecture, virtual museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm. . Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan, sebagaimana yang dimyatakan oleh Neill Barrett dan Mark D. Rasch bahwa internet mempunyai sisi gelap, sebagai sarana yang mendukung kejahatan, di mana 80% gambar di internet adalah gambar porno.
Cyberporn atau cybersex merupakan salah satu dari sisi negatif dari adanya teknologi informasi ini. Hal ini disebabkan sex merupakan suatu komoditi yang dapat membawa profit cukup besar dalam bisnis, terlebih melalui jasa e-commerce. Pornografi yang merambah sampai ke dunia maya dapat dengan mudah diakses oleh siapapun, tanpa batasan usia, kelamin, tingkat pendidikan, maupun stratifikasi sosial. Selain itu, kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi sex secara online, melahirkan kepuasan dan keprivatan tersendiri, yang seringkali didalilkan tidak banyak merugikan, karena keresahan dan efek negatifnya tidak secara langsung dapat dirasakan.
Berdasarkan kenyataan inilah, penulis tertarik mengangkat permasalahan ini dari sudut pandang ilmu sosiologi hukum, karena keberadaan cyberporn di satu sisi dijadikan pembenaran sebagai sarana kebutuhan yang relatif responsif dengan kebutuhan jaman dan di sisi lain memberikan dampak yang cukup besar dalam masyarakat, sehingga tuntutan akan aturan hukum menjadi ultimum remedium atas kebijakan penal negara untuk memberikan ganjaran dengan sanksi hukumnya, dan sekaligus sebagai warning atau penentu norma sebagai kebijakan non penalnya. Permasalahan ini akan penulis bahas lebih lanjut dalam tulisan yang berjudul Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum.

II. PERMASALAHAN
Dalam tulisan ini, pokok permasalahan yang selanjutnya akan dipaparkan dalam pembahasan adalah :
1. Bagaimanakah fenomena cyberporn di Indonesia dan penegakan hukumnya?
2. Bagaimanakah fenomena cyberporn dalam perspektif sosiologi hukum ?

III. PEMBAHASAN
A. Fenomena Cyberporn
Perkembangan teknologi telah memberikan ruang dan peluang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan kepada orang yang berminat. Internet adalah salah satu sarana/media yang sering digunakan untuk melakukan transaksi dagang, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyebaran berita dan informasi, di sisi lain dimanfaatkan pula untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya, bahkan dalam transaksi seks.
Menurut Dimitri Mahayana internet merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan) yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.
Secara etimologi, pornografi berasal dari dua suku kata, yaitu pornos dan grafi. Pornos, artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Grafi adalah gambar atau tulisan, yang dalam arti luas yang isi atau artinya menunjukkan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan di masyarakat.

Pornografi bersifat relatif, artinya tergantung pada ruang, waktu, tempat dan orangnya serta kebudayaan suatu bangsa. Bahkan dalam lingkungan suatu bangsa sendiri, terjadi variasi pengertian pornografi itu, misalnya antara suku Aceh dan Bali, Minahasa dan Bugis terjadi perbedaan yang mencolok sekali. Pornografi tradisional biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape. Kehadiran Internet dan cyberspace memberi warna tersendiri dalam persoalan pornografi.
Pornografi di internet berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences yang terdapat dalam Title 3, article 9. Setidak-tidaknya ada empat pendapat yang berkaitan dengan pornografi sebagaimana disimpulkan oleh Jonathan Blumen, yaitu:
“Pornography is bad because it is violence and oppression (Catharine Mackinnon) Pornography must be tolerated for free speech reasons (Nadine Strossen) Pornography is good, liberating, allows us to grow as sexual beings (Wendy McElroy) Pornography is absolutely bad by religious commandement or other rule arising from a morality of prohition”.

Jaringan komunikasi global interaktif melalui fasilitas internet relay chat dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi) atau disebut juga cybersex. Ada dua bentuk dari cybersex dalam ruang chatting, yaitu Computer mediated interactive masturbation in real time dan Computer mediated telling of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,
pornografi adalah : gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Berdasarkan pengertian pornografi yang terdapat dalam undang-undang tersebut dinyatakan pornografi secara luas, dalam arti yang dipublikasikan melalui berbagai bentuk media komunikasi. Namun, secara khusus masalah pornografi melalui dunia maya terdapat dalam lex specialie-nya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
American Demographic Magazine yang menghitung jumlah situs porno dan jumlah halaman situs porno. Pada tahun 1997 terdapat 22.100 situs porno. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 280.000 dan pada tahun 2003 meningkat hamper empat kali lipatnya, yaitu menjadi 1,3 juta situs porno. Sedangkan, halaman situs porno di dunia pada tahun 1998 terdapat 14 juta dan meningkat tajam pada tahun 2003, yaitu menjadi 260 juta. Pada tahun 2008, data terakhir halaman situs porno di dunia telah mencapai 420 juta.
Kenyataan ini tidak dapat terelakkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Robert Weiss dari Sexual Recovery Institute di Washington Times tahun 2000. Weiss menyatakan bahwa sex adalah topik no. 1 yang dicari di Internet. Studi lain yang dilakukan oleh MSNBC/Standford/Duquesne menyatakan bahwa 60% kunjungan internet adalah menuju ke situs sex (porno). Data ini disempurnakan oleh publikasi dari The Kaiser Family Foundation yang menyatakan bahwa 70% kunjungan pengguna Internet belasan tahun adalah menuju ke situs pornografi. Penelitian lain yang dikeluarkan oleh TopTenReviews.Com menyatakan bahwa sebenarnya dominasi pengunjung Internet di Amerika justru orang berumur 35-44 tahun (26%). Lengkapnya lihat dari gambar di bawah ini :

Age Prosentase (%)
18-24 13,61%
25-34 19,90%
35-44 25,50%
45-54 20,67%
55+ 20,32%

Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono dinyatakan bahwa setiap detiknya terdapat 28.258 orang melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta.
Penyebaran pornografi di dunia maya sangat berhubungan dengan industry pornografi yang melintasi batas antar negara. Amerika merupakan Negara penyumbang terbesar 89% situs pornografi di dunia. Diikuti oleh Jerman, Inggris, Australia, Jepang dan Belanda menyusul di belakangnya. meskipun Amerika penyumbang situs porno terbesar di dunia, ternyata hanya menduduki urutan keempat dalam jumlah pendapatan (revenue) dari industri pornografi di dunia. Pemenangnya justru China yang diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang. Total pendapatan pertahun industri pornografi di dunia adalah sekitar 97 miliar USD, ini setara dengan total pendapatan perusahaan besar di Amerika yaitu: Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo!, Apple, Netflix and EarthLink. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya industri pornografi di dunia. Sedikit berkaitan ini, salah satu tulisan di CNET tahun 1999 menyebutkan bahwa: Pornografi online adalah produk ecommerce yang secara konsisten menduduki peringkat pertama dalam bisnis di Internet. Dari berbagai data tentang pornografi Internet diatas, yang cukup mencengangkan adalah bahwa ternyata penikmat dan penerima ekses negatif dari industri pornografi di Internet bukan negara-negara produsen, tapi justru negara-negara kecil dan berkembang sebagai konsumen. Kita bisa lihat dari tren request pencarian dengan tiga kata kunci, yaitu xxx, porn dan sex, semuanya dikuasai oleh negara kecil atau berkembang seperti Pakistan, Afrika Selatan, India, Bolivia, Turki, dan juga Indonesia.

Keyword : sex
1 Pakistan
2 India
3 Egypt
4 Turkey
5 Algeria
6 Morocco
7 Indonesia
8 Vietnam
9 Iran
10 Croatia

Menurut Dr. Mary Anne Layden seorang peneliti dari University of Pennsylvania, cyberporn membawa dampak yang tidak baik, yaitu :, meningkatnya kriminalitas. Ia mengatakan , ”Saya telah memberikan pendampingan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Dan saya belum pernah menangani 1 kasus pun yang tidak diakibatkan oleh Pornografi. Pornografi memicu agresifitas dan pada akhirnya memicu seseorang untuk melakukan perbuatan kriminal.”
Kedua, resiko terhadap psikologis dan pendidikan. Menurut VB Cline, seorang riserter masalah psikososial dan pornografi, mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual pada konsumer pornografi : (1) Adiksi atau ketagihan, (2) Eskalasi, yaitu : peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang, (3) Desentisisasi, yaitu : kian menipisnya sensitifitas, dan (4) Acting Out, yaitu : Pecandu pornografi mulai mempraktekan. Ketiga, resiko kesehatan. Menurut Divisi Kesehatan ASA Indonesia Dewi Inong Irara, spesialis penyakit kulit dan kelamin, memaparkan resiko kesehatan yang diakibatkan oleh Penyakit Menular Seks (PMS ) akibat pornografi adalah Infeksi alat kelamin, komplikasi, penyakit alat kelamin dalam kronis, kanker kelamin, menular bayi dalam kandungan, dan HIV/ AIDS. Keempat, resiko kultural ( pergeseran nilai-nilai ). Saat ini sudah bisa terlihat jelas akibat industri pornografi, banyak nilai-nilai budaya pada masyarakat tidak dihiraukan lagi, seperti hidupnya dunia malam yang identik dengan tempat-tempat pelacuran dan meningkatnya pelaku pornografi.

B. Penegakan Hukum Cyberporn di Indonesia
Untuk mencegah dan menanggulangi maraknya pengakses situs porno, maka hukum pidana dapat digunakan untuk sebagai alat meskipun hanya bersifat pengobatan simptomatik. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang meliputi adanya keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial dan keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus dipandang sebagai bagian dari politik kriminal.
Dalam KUHP, pornografi merupakan kejahatan yang termasuk golongan tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid) yang termuat dalam Pasal 282-283. Perbuatan-perbuatan yang tercantum dalam Pasal 282 KUHP baik yang terdapat dalam ayat (1), (2) maupun (3) dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;
b. membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;
c. dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh di dapat.
Di luar KUHP, negara telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianggap kurang memadai dan belum mampu memenuhi kebutuhan penegakan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu, sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang Paripurna dengan nama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Selanjutnya, untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1), bahwa :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
Bagi orang yang memiliki website yang menyajikan cerita porno, foto bugil, film porno, dan berbagai informasi bermuatan pornografi akan dijerat dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Selain itu, juga telah ada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 menetapkan Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Teknologi Telematika (ICT). di Indonesia yang tertuang dalam INPRES No. 6 Tahun 2001. Dalam INPRES tersebut dinyatakan bahwa warung internet (warnet) merupakan ujung tombak untuk mencapai tujuan yang diinginkan di samping warung telekomunikasi (wartel). Teknologi warung internet dimungkinkan untuk masuk ke desa-desa terpencil di pegunungan maupun di pantai asal ada infrastruktur telekomunikasi meskipun mungkin tidak sebaik di perkotaan.
Ini berarti teknologi informasi melalui internet telah merambah dan masuk ke daerah-daerah tanpa mampu dihindari. Di satu sisi, bermanfaat membuka cakrawala ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat di daerah. Namun, kemanfaatan ini apakah sudah sesuai dengan kemungkinan resiko dan efek negative yang mungkin timbul dengan keberadaan internet? Belum tentu. Selain menjadi ujung tombak dalam rangka pemberdayaan teknologi informasi dan telematika, warung internet juga merupakan ujung tombak bagi para penikmat situs-situs porno. Dalam konteks pencegahan dan penanggulangan cyberporn ini, pengusaha atau pemilik warnet menghadapi dilema. Dilema-dilema tersebut adalah:
a. situs porno merupakan daya tarik yang luar biasa dan menjadi alasan anak muda untuk mengenal dan menikmati internet; dan bagi pengusaha ini merupakan icon keuntungan;
b. adanya larangan atau himbauan bagi penunjung untuk tidak mengakses situs porno akan menurunkan jumlah pengunjung;
c. untuk mengontrol pengguna internet agar tidak memasuki situs porno sangat sulit karena diperlukan biaya yang relative besar
d. pembatasan usia pengunjung warnet akan semakin mempersulit pemasaran yang akibat lebih jauh mengakibatkan gulung tikar usaha warnet;
e. tidak semua pengusaha atau pemilik warnet mempunyai kemampuan untuk memasang software yang mampu menyaring situs-situs mana yang boleh dibuka.
Kebijakan penal yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, dalam penegakan hukumnya belum dapat berjalan dengan baik karena terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Ada banyaknya persepsi dalam memberikan penafsiran unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-pasal tentang pornografi. Seringkali, penafsiran pornografi dan kesusilaan berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Di samping itu adalah kesulitan dari aparat keamanan untuk melacak jejak keberadaan pemilik situs atau website yang menawarkan gambar atau tulisan porno, krn locus delicte dari cyberporn adalah cyberspace itu sendiri. Diperlukan keahlian dan kemampuan berselancar di dunia maya untuk mengikuti modus cyberporn yang terus menerus berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telematika yang ada. Selain itu adalah keengganan hakim-hakim kita untuk mendobrak tradisi lama yang legism oriented dengan pendekatan baru yang mengedepankan searching for turth and justice.
Kelemahan-kelemahan yang ada dalam setiap kebijakan penal, harus mampu diimbangi dan diminimalisir dengan kebijakan non penalnya, sehingga kebijakan penal dan non penal harus berjalan beriringan dan saling melengkapi, sehingga efektivitas penegakan hokum tidak mengalami stagnasi. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran dan penyaringan/ pemfilteran data dan informasi melalui internet. Pemerintah daerah berwenang mengembangkan edukasi dengan mengadakan penyuluhan ke sekolah-sekolah tentang bahaya dan dampak pornografi. Di sisi lain, peran serta masyarakat diharapkan dapat ikut berperan serta untuk mencegah penyebarluasan pornografi dengan melaporkan pelanggaran, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak negative pornografi dan upaya pencegahannya.
Kebijakan non penal dapat pula dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat seperti pengusaha warnet/jasa layanan internet, masyarakat dan pengguna itu sendiri. Walaupun di dalam praktiknya koordinasi ini sulit dilakukan karena terjadi pertentangan di antara komponen masyarakat tersebut karena di satu sisi pornografi merupakan daya tarik dari internet (pengusaha warnet) yang berharap keuntungan akan datang dan pada sisi lain dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan dan kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas pornografi, maka harus ada kompromi di antara mereka. Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama antara anggota masyarakat, pengakses, orang tua (terutama yang anaknya senang main internet dan juga dirinya sendiri), pengusaha atau pemilik warnet dan aparat penegak hukum. Bagi para pemilik personal computer yang terhubung ke internet (dan juga warnet-warnet yang mampu untuk itu) terdapat beberapa software yang dapat digunakan untuk menyaring situs-situs mana yang tidak boleh dibuka oleh mereka yang belum cukup umur.
Selain itu, dapat dilakukan pula dengan menggunakan pendekatan sosial budaya (berupa ikut campurnya mereka-mereka yang terlibat dalam bisnis layanan jasa internet) dan secara teknis atau techno prevention berupa penambahan software-software tertentu pada perangkat komputer yang digunakan untuk akses ke internet.

C. Fenomena Cyberporn dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Sosiologi hokum memandang hokum sebagai bentuk perwujudan dari kehendak masyarakat. Karena pada dasarnya, hokum itu ada karena ada masyarakat. Ketika terbentuk suatu komunal yang bernama masyarakat, diperlukan aturan-aturan yang pada dasarnya dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur kehidupan kebersamaan mereka guna mencapai tujuan-tujuan. Keberadaan masyarakat hendaknya dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum.
Menurut Emille Durkheim, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”. Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial.
Secara sosiologi hukum makro, kenyataan (das sein) merupakan suatu realitas yang tidak dapat terpisahkan dari system social. Ini berarti, adanya kesinambungan dan kesatuan di antara bagian-bagian sebagai keseluruhan elemen di masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh M. Munandar Soelaeman, bahwa masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang salig berkaitan dan menyatu dalam kesinambungan. Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain dan setiap elemen dalam satu system social fungsional terhadap yang lain. Ini disebut dengan teori fungsionalisme structural, yang menjadi bagian teori dari paradigma fakta social.
Keberadaan cyberporn di Indonesia lengkap dengan teknologi informasi dan telematika yang menyertainya merupakan suatu realitas teknologi yang masuk ke Indonesia melalui kecanggihan cyberspace. Oleh karenannya, masyarakat Indonesia tidak dapat mengelakkannya karena merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak dapat membatasi diri dari pergaulan dunia dan menutup diri akan kebutuhan teknologi di jaman globalisasi ini.
Masyarakat Indonesia memiliki karakteristik sendiri, dengan keunggulan nilai-nilai dan norma-norma yang secara menginternal menjadi satu kesatuan dari bagian masyarakat. Norma-norma dan pola nilai ini disebut dengan institutions atau biasa disebut dengan pranata. Dalam sosiologi modern, pranata social ini dipandang sebagai antar hubungan norma-norma dan nilai-nilai yang mengitari aktifitas manusia dalam masyarakat. Pornografi adalah hal yang pada dasarnya melukai norma-norma di masyarakat Indonesia yang selama ini dipegang teguh. Oleh karena itulah, kebijakan penal yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan pornografi telah diundangkan. Das Sollen yang yang merupakan arah tujuan hokum yang bersifat abstrak dan harapan akan hokum yang seharusnya (ideal), masih menempatkan nilai-nilai kesusilaan dan kesopanan yang dipegang teguh oleh masyarakat sebagai landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan tersebut. Walaupun tidak dapat dipungkiri kekurangan dan kelemahan tentang substansi hukumnya, yang seringkali mengalami ketegangan (spannungsverhaltnis) karena banyak hal dalam substansi undang-undang yang tidak sejalan dengan kultur hukumnya, seperti ancaman hukuman yang sangat berbeda ketika Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE tentang pasal pornografi dibandingkan. Padahal keduanya merupakan undang-undang di luar KUHP yang memiliki fungsi sama sebagai lex specialis dalam permasalahan pornografi.
Namun, menurut teori fungsionalisme structural, keberadaan cyberporn menguji kekuatan nilai dan norma yang selama ini membingkai keteraturan di dalam masyarakat sekaligus menjadi skala dan parameter, sejauhmanakah cyberporn mampu menggilas habis kekuatan nilai dan norma yang selama ini dipertahankan di masyarakat. Sistem social yang disangga oleh kekuatan nilai dan norma apakah akan runtuh sedemikian dahsyatnya dengan masuknya cyberporn. Karena menurut teori, masyarakat senantiasa berada dalam keseimbangan (equilibrium) karena di masyarakat telah dilengkapi dengan system social yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu sehingga masyarakat senantiasa seimbang. Semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat.
Melihat fenomena cyberporn di Indonesia sebagaimana telah penulis jelaskan, tampak bahwa efek negative dari cyberporn telah mewabah dan sebagian telah merusak generasi, dari mulai anak-anak generasi muda dan bahkan sampai usia tua. Sedangkan pada kenyataannya, keberadaan internet telah masuk sampai ke daerah-daerah di pinggiran kota dan pedalaman. Terlebih Indonesia telah masuk dalam peringkat 10 besar pengguna internet yang memanfaatkan cyberporn dalam aktifitasnya di dunia maya. Ini berarti, banyak pranata yang telah ditinggalkan dan tergilas oleh keberadaan cyberporn. Nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat semakin terkikis, sehingga ukuran atau patokan yang mendasari nilai-nilai mengalami pergeseran, dari yang tidak baik, menjadi lumayan baik, atau bahkan menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Demikian juga dengan patokan berperilaku yang mendasari norma-norma, menjadi semakin kabur.
Namun di sisi lain, keberadaan cyberporn telah melahirkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pornografi, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 44 Tahun 2008. Walaupun sangat terlambat dan kurang reponsif akan perkembangan masyarakat dan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara fungsionalisme structural, keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Cyberporn atau pornografi di dunia maya telah menjadi bagian satu paket dengan masuknya teknologi informasi dan telematika internet ke Indonesia yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga dirasakan dampak negatifnya.
2. Penegakan hokum cyberporn dilakukan dengan dua kebijakan, yaitu kebijakan penal melalui peraturan perundang-undangan, yaitu diundangkan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dan kebijakan non penal melalui sosialisasi, pendidikan upaya-upaya preventif lainnya yang berfungsi mencegah dampak negative keberadaan cyberporn bagi masyarakat.
3. Keberadaan cyberporn secara sosiologis telah mempengaruhi efektivitas nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan sebagai pranata yang selama ini mengatur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi keterkikisan nilai-nilai yang pada akhirnya dikhawatirkan akan meruntuhkan tatanan nilai di masyarakat. Oleh karena itu, secara fungsionalisme structural, kebijakan penanggulangan pidana secara penal dan non penal adalah bukti keseimbangan yang ingin diwujudkan sebagai bentuk penolakan akan adanya pornografi, sekaligus bukti kekokohan pranata yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA


Allen, C.K., 1964, Law in the Making, New York: Oxford University Press.

Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Barrett, Neill, 1997, Digital Crime, Policing the Cybernation, London, Kogan Page Ltd.

Blumen, Jonathan, 1995, Is Pornography Bad ? http://www.spectacle. org/Is_Pornography_Bad.html.

Chazawi, Adami, 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Friedman, Wolfgang, 1953, Legal Theory, London, Stevens and Sons,.

Hamman, Robin B., 1996, Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms, 30 September, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.com/Cyberorgasm.html.

Hamzah, Andi, 1987, Pornografi Dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Jakarta, Bina Mulia,.

Hunt, Alan, 1978, The Sociological Movementin Law, London, Billing and Sons.

Mahayana, Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Bandung, Rosda.

Makarim, Edmon, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Perkasa.

Perdana, Ricky, 2009, Pornografi di Indonesia Semakin Mengganas, http://riky-perdana.blogspot.com/2009/01/pornografi-di-indonesia-semakin.html

Raharjo, Agus dan Sunaryo, 2002, Cyberporn (Studi Tentang Aspek Hukum Pidana Pornografi Di Internet, Pencegahan dan Penanggulangannya), Jurnal Kosmik Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bhakti.

Ritzer, George, 1980, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Allyn and Bacon Inc.

Soelaeman, M. Munandar, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

TopTenReviews.Com

Wahono, Romi Satria, 2008, Tahukan Anda Beberapa Kenyataan ini? http://agungcyber.blogspot.com/2008/04/indonesia-rangking-7-kupas-tuntas.html.
Waisan, Ronny, 2009, Aturan Tindak Pidana dalam UU Pornografi dan UU ITE tentang Informasi Elektronik bermuatan Pornografi, http://ronny-hukum.blogspot.com/2009/04/tinjauan-aturan-tindak-pidana-dalam-uu_01.html.