Wednesday, May 5, 2010

Perbandingan Madzhab Ilmu Hukum


MENGKRITISI ANALYTICAL JURISPRUDENCE

VERSUS SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

DALAM PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Novita Dewi Masyithoh


ABSTRAK

Pembahasan mengenai Analytical Jurisprudence versus Sociological Jurisprudence ini, berangkat dari keprihatinan atas pemahaman yang terus berkembang mengenai hokum dengan cara pandang masing-masing madzhab hokum yang ada. Sehingga menempatkan hokum pada dua pemahaman besar, yaitu Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence. Kedua paham ini terus menerus saling mengoreksi dan mengkritik, sehingga eksistensinya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu hokum. Namun, pertanyaan besar bagi penulis, apakah paham yang satu lebih dari yang lain, sehingga perbedaan di antara keduanya terpisahkan dalam jurang yang begitu dalam dan tajam? Selanjutnya, apakah membawa dampak dalam perkembangan hokum di Indonesia?

A. Analytical Jurisprudence

Analytical Jurisprudence atau rechtsdogmatiek adalah suatu paham dalam ilmu hukum yang dilandasi oleh gerakan Positivisme. Gerakan ini muncul pada abad ke sembilanbelas sebagai counter atas pandangan hukum alam.[1]

Pada saat keadaan mengalami kestabilan untuk perkembangan aliran Positivisme, maka aliran ini berkembang dengan pesat. Namun ada sebagian abad kesembilanbelas terjadi kegoncangan karena Positivisme dinilai telah gagal dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan moral dan kepercayaan sosial masyarakat. Positivisme dianggap tidak mampu memberikan jawaban atas penyalahgunaan kekuasaan dan pengkebirian hak-hak individu dan kemerdekaan yang mereka miliki. Selanjutnya, Positivisme mengalami kemunduran dan hukum alam mengalami kebangkitan kembali, yang biasa dikenal dengan “Kebangkitan Doktrin Hukum Alam”.

Positivisme didukung oleh pengikut-pengikutnya, seperti H.L.A. Hart dan John Austin. John Austin menyatakan bahwa :

Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber lainnya merupakan subordinate sources. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung. Pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi itulah pembuat hukumnya dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Jurisprudence adalah ilmu hukum positif.[2]

H.L.A Hart pun menyatakan hal yang menguatkan pendapat Austin, bahwa:

Hukum adalah perintah. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas. Judgment, secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian. Hukum adalah sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum yang harus dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan diinginkan. Inilah yang diterima sebagai pemberian arti dari Positivisme.[3]

Selanjutnya, Analytical Jurisprudence juga sangat dipengaruhi oleh teori hukum murni, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pengembangan yang kritis dari Positivisme. Teori hukum murni juga mengkritisi Hukum Alam yang bersifat ideologis filosofis, yang menekankan hukum sebagai manifestasi dari moral kemanusiaan. Teori Hukum Murni hanya menerima hukum sebagaimana adanya dalam bentuk peraturan-peraturan yang kongkrit. Ini adalah teori hukum positif yang hanya mempersoalkan apakah hukumnya dan bagaimana melaksanakannya. Bukan mempertanyakan bagaimanakah hukum yang seharusnya. Oleh karena itu, hukum adalah peraturan yang sangat berbeda dan tidak ada hubungannya dengan konsep keadilan. Keadilan dipandang sebagai konsep ideologis yang bersifat abstrak dan tidak rasional, karena itu tidak menjadi bagian dari hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh Hans Kelsen sebagai tokoh utama hukum murni, bahwa :

Keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ini adalah konsep ideologis, suatu idealisme yang irasional, karena keadilan tidak dapat dijadikan subyek dalam pengetahuan. Jurisprudence adalah normatif, sebagai suatu teori tentang norma-norma yang tidak memperhatikan persoalan efektivitas norma hukum.[4]

Teori hukum murni hanya menempatkan hukum secara normatif, semata-mata hanya berada dalam dunia sollen. Oleh karena itu, konsep grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dan menjadi dasar hukum yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Hukum merupakan suatu bentuk penalaran logis yang mempunyai kekuatan untuk melakukan ekspansi logis yang tidak memperhatikan segi manusiawi dan konstrukinya untuk memperoleh hasil yang diklaim secara logis adalah benar.[5] Analytical Jurisprudence berkutat dalam sistem hukum positif dan dekat dengan tipe hukum otonom.[6]

B. Sociological Jurisprudence

Sociological Jurisprudence muncul pada pertengahan abad ke sembilanbelas dan abad ke duapuluh. Diawali dengan munculnya aliran Sejarah dan Antropologis yang mulai meletakkan hukum pada lingkungan sosial. Tokoh utamanya Friedrich Carl von Savigny dalam bukunya Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (tentang Pekerjaan pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum). Menurutnya,

Pada waktu-waktu yang lampau, sebagaimana dapat diketahui dari sejarah kuno, hukum telah dapat diketemukan dalam bentuk yang pasti, bersifat khas untuk masing-masing rakyat, seperti adat mereka, bahasa mereka, dan struktur masyarakatnya. Tidak, fenomena ini tidak mempunyai eksistensi yang terpisah, semua itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari rakyat. Yang mengikat semua itu ke dalam satu kesatuan adalah keyakinan yang sama dari rakyat, kesadaran yang sama dalam hati tentang adanya keharusan. Hakikat dari hukum adalah pencerminan jiwa rakyat.[7]

G. Puchta juga menyatakan hal yang sama, bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya, ia akan mati manakala bangsa itu kehilangan bangsanya.[8]

Aliran sejarah ini membuka jalan untuk pertama kalinya bahwa hukum adalah suatu unikum. Selanjutnya, pemahaman hukum mulai diarahkan pada keberadaan masyarakat. Aliran Antropologis, yang digawangi oleh Sir Henry Maine mengemukakan pendapat yang berkeseimbangan dengan Savigny. Paul Bohannan, menyatakan bahwa :

Hukum berhubungan dengan kebiasaan, di mana definisi-definisi hukum dapat dijumpai pada kebiasaan. Kebiasaan adalah seperangkat norma-norma yang secara nyata dilakukan dalam praktek sehari-hari. Perbedaannya adalah apabila hukum adalah kebiasaan yang diciptakan kembali secara khusus oleh badan-badan dalam masyarakat dalam bentuk yang lebih sempit dan jelas. Ini berarti hukum menempatkan suatu pelembagaan (reinstutionalization) dari kebiasaan.[9]

Aliran Antropologi menyatakan bahwa untuk mempelajari hukum dituntut pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap masyarakat. Studi hukum tidak dapat membatasi dirinya hanya pada pengamatan terhadap bentuk-bentuk dan lembaga-lembaga yang ada.

Kedua aliran ini memberikan perubahan yang mendasar dalam memahami hukum, yang selama abad delapanbelas dan sembilan belas berkutat pada pemahaman hukum normatif positivistik. Keberadaan masyarakat mulai dipahami sebagai bagian yang integral terhadap hukum. Pemahaman ini semakin berkembang dengan munculnya berbagai pendekatan sosiologis. Dipelopori oleh Auguste Comte dengan ilmu yang dikembangkan bernama Sosiologi.

Tokoh aliran Sosiologi lainnya adalah Emille Durkheim yang membagi hukum menjadi dua disesuaikan dengan tipe masyarakatnya, yaitu hukum represif untuk masyarakat dengan solidaritas mekanik dan hukum restitutif untuk masyarakat dengan solidaritas organik. Menurutnya, “manusia adalah manusia, hanya karena ia hidup dalam masyarakat. Kehidupan kolektif itu tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi sebaliknya, kehidupan individual dilahirkan dari kehidupan kolektif”.[10] Selanjutnya dikatakan bahwa, hukum merupakan pencerminan dan sekaligus juga indeks dari solidaritas sosial. Bersama-sama dengan moralitas, hukum merupakan perwujudan dan sekaligus sarana untuk mencapai harmoni sosial.[11]

Tokoh aliran Sosiologi yang sering dikaitkan dalam perkembangan Sociological Jurisprudence, yaitu Roscoe Pound, dengan teori yang dikemukakannya Law as a Tool of Social Engineering. Menurutnya, tujuan dari Social Engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa,sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan, dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan.[12] Pound mencoba untuk menyusun nilai-nilai hokum yang utama dalam suatu masyarakat yang “beradab”, yang bersifat relative, yaitu “beradab untuk kurun waktu dan tempat tertentu”.[13]

C. Analytical Jurisprudence versus Sociological Jurisprudence dalam Perkembangan Hukum di Indonesia

Sebagaimana telah dibahas di atas, Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence dalam perkembangan ilmu hokum, dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang tajam di antara keduanya. Sebagaimana dinyatakan oleh Black dan Milavanovich, yang membagi teori hokum dalam model hokum menjadi dua, yaitu Jurisprudentie Model dan Sociological Model. Dalam Jurisprudentie Model, kajian hokum lebih difokuskan kepada produk kebijakan (aturan/rules). Proses hokum berlangsung ditata dan diatur oleh sesuatu yang disebut sebagai logic. Hokum dianggap sebagai sistem yang abstrak, yang hadir dalam bentuk keharusan-keharusan (das sollen).[14]

Sedangkan Sociological Model, kajiannya difokuskan pada struktur social yang selalu memperhatikan dan memperlihatkan perubahan dengan perhatian utamanya pada “perilaku” masyarakat.[15]

Selain itu, J.J.H. Bruggink juga menempatkan kedua model tersebut dengan nama Dogmatika Hukum dan Sosiologi Hukum.[16]Ini berarti, Analytical Jurisprudence dan Sociological Jurisprudence telah menjadi bagian dari denyut nadi hokum dan menginspirasi munculnya berbagai teori hokum. Perkembangan ilmu hokum menjadi semakin marak, karena masing-masing jurisprudence tersebut menawarkan pemahaman yang sampai saat sekarang keduanya masih banyak dipakai. Walaupun kehadiran Sociological Jurisprudence yang masih lebih muda dibandingkan Analytical Jurisprudence, namun ketertarikan para ilmuwan hokum untuk mengembangkannya tampak demikian pesat.

Namun, pada titik ini perlu dikaji kembali, apakah satu dari yang lain dari kedua jurisprudence ini lebih baik? Sehingga sampai terjadi pertentangan yang berujung saling mengklaim kebenaran di antara keduanya. Penulis mengamati, untuk perkembangannya di Indonesia keduanya membawa pengaruh yang sangat besar, khususnya karena Indonesia adalah rechtstaat. Sebagaimana yang kita ketahui, sampai saat ini pemahaman hukum secara dogmatis masih tetap dipertahankan dalam kerangka hokum nasional. Legislatif pun masih memegang tanggungjawab sebagai legal drafter­ yang bertanggung jawab dalam pembuatan hokum. Walaupun diketahui, mekanisme politik menjadi kendaraan para legal drafter kita untuk mendapatkan jabatan politiknya tersebut. Menurut Nonet, hokum yang demikian dapat dikatakan mengarah kepada hokum represif, yang dikhawatirkan akan menjunjung tinggi status quo dan digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan,[17] sebagaimana yang pernah kita alami pada masa Orde Baru.

Pertanyaannya, apakah pemahaman hokum secara normative masih kita butuhkan dalam kehidupan bernegara? Jawabannya, mungkin sampai saat ini dianggap masih cukup relevan, terbukti dengan masih tetap dipertahankannya Analytical Jurisprudence dalam memandang hokum di Indonesia.

Apabila diamati, pemahaman hokum secara dogmatis, tidak berjalan sendirian menerapkan efek jera dalam mewujudkan suatu ketertiban. Terbukti, bahwa dalam sumber hokum kita, kebiasaan masih tetap dipertahankan sebagai salah satu sumber hokum, walaupun kedudukannya tidak sekuat undang-undang (di bawah undang-undang). Selama kebiasaan yang bersangkutan tidak bertentang dengan undang-undang, maka masih dapat dipergunakan sebagai sumber hokum.

Bagaimana dengan Sociological Jurisprudence di Indonesia? Ya, kita juga menggunakan pemahaman tersebut dalam melihat hokum. Masyarakat kita yang multicultural memberikan karakteristik dalam aturan di masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa masih banyak aturan adat dan kebiasaan (custom) yang dalam keseharian masih dipakai untuk mengatur masyarakatnya. Sebagai contoh, Kampung Samin di Blora masih tetap memegang teguh adat kebiasaan mereka, yang meyakini bahwa “kalau kita tidak mencuri, pasti tidak akan kecurian”. “Kalau tidak menyakiti orang lain, maka pasti tidak akan disakiti orang lain”. Kalau percaya pada orang lain, maka orang lain pasti percaya pada kita”. Kalau baik dan menganggap orang lain keluarga, maka pasti akan diperlakukan dengan baik dan dianggap keluarga”. Oleh karena itu, undang-undang menjadi sesuatu “alergi” bagi mereka, karena di kampong ini, tanpa undang-undang semuanya berjalan dengan baik dan tanpa kejahatan. Keberadaan polisi hanya dianggap sebagai formalitas yang tidak perlu bekerja apapun.

Sanksi social, masih dianggap sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dan memalukan dibandingkan dinginnya tembok Lapas. Kita lihat, Soemanto si Kanibal Indonesia, ketika hampir menyelesaikan masa tahanannya, keluarga dan masyarakat kampungnya di Purbalingga sudah mengecam dan tidak menerima kehadirannya di kampong halaman tercinta. Ini adalah sebuah bukti, bahwa dengan selesainya masa hukuman seseorang di Lapas, tidak menjamin diterima kembali di masyarakat. Secara preventif, bagi mayoritas masyarakat Indonesia sanksi social masih lebih menakutkan daripada sanksi normative.

Selain itu, kita masih sering mendengar banyaknya istilah ra ilok atau pamali mendominasi dalam setiap tata perilaku di masyarakat. Apabila kita tanya pada mereka, apa pasalnya sehingga mereka tidak melakukan kejahatan tersebut? Sebagian besar masyarakat yang awam hokum, pasti lebih memilih menggunakan argumentasi ora ilok, pamali, kata orang tua dulu atau takut karma. Ini masih diyakini membawa efektivitas dalam hokum.

Akan tetapi, permasalahan lainnya muncul, bagaimana dengan nilai-nilai masyarakat yang sudah terkikis oleh perkembangan zaman dan budaya permissif, sehingga standar/ukuran untuk mengatakan sesuatu boleh/tidak boleh, baik/tidak baik, benar/tidak benar menjadi sangat kabur dan menjadi tidak jelas. Ini menjadi problem besar bagi pemahaman hokum secara sosiologis. Berarti, menjadi kewajiban kita semua untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kemasyarakatan agar tetap menjadi pilar penopang perilaku masyarakat sebagaimana yang diharapkan.



[1] Hukum alam yang dikritisi oleh gerakan Positivisme adalah hukum alam sebagai substansi, yang di dalamnya berisi norma-norma. Dalam anggapan hukum alam, yang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut yang lazim dikenal dengan hak-hak asasi manusia. Hukum alam menyatakan suatu idealisme moral. Hukum yang sesungguhnya adalah akal yang benar yang sesuai dengan akal. (Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 260)

[2] C.K. Allen, Law in the Making, (New York: Oxford University Press, 1964), hlm. 2.

[3] R.W.M. Dias, Jurisprudence, (London: Butterworths, 1979), hlm. 451.

[4] Wolfgang Friedman, Legal Theory, (London: Stevens and Sons, 1953), hlm. 113.

[5] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 276.

[6] Tipe hukum otonom adalah salah satu tipe hukum yang disampaikan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick yang memiliki karakteristik, hukum dipisahkan dari politik, di mana tatanan hukumnya mendukung “model aturan” dan prosedur pengadilan adalah inti dari hukum karena kesetiaan pada hukum adalah kepatuhan yang ketat pada aturan hukum positif. Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society and Transition, (New York: Harper Colophon Books, 1978), hlm. 48.

[7] R.W.M. Dias, Op.Cit., hlm. 518.

[8]Ibid.

[9] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 283.

[10] Alan Hunt, The Sociological Movementin Law, (London: Billing and Sons, 1978), hlm.61.

[11] Ibid., hlm. 91.

[12] R.W.M. Dias, Op.Cit., hlm. 596.

[13] Ibid.

[14] H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm. 50-51.

[15] Donald Black, Sociological Justice, (New York : Oxford University Press, 1989), hlm., 22.

[16] H.R. Otje Salman danAnton F. Susanto, Op.Cit., hlm. 60-62.

[17] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.Cit., hlm. 25.

2 comments:

  1. oalah Mr Ikhsan...,jgn diketawain ya blogku ini, cuma buat maen-maenan aja,kan katanya maen itu salah satu metode pencarian ilmu yang menyenangkan to...ben ga bosen, kuper, gaptek...

    ReplyDelete